Nationalgeographic.co.id - Konflik gajah liar di Aceh sudah sering terjadi. Pada 2017, kasusnya memuncak dengan jumlah 103 kasus.
Dan pada 2019, konflik antara gajah dan manusia masih berlanjut. Itu terjadi di Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Pidie.
Sekitar 32 gajah terlihat memasuki permukiman warga serta menerobos perkebunan milik petani sekitar. Serangan ini menyebabkan satu rumah warga dan puluhan hektar tanah menjadi hancur.
Terjadinya serangan ini diduga karena adanya pembukaan lahan sawit baru yang mengganggu habitat gajah sehingga membuat mereka mencari makanan di tempat lain dan berakhir pada permukiman warga.
Baca Juga : Merayakan Musim Dingin Ekstrem di Atas Danau Kuno Beku Mongolia
Untuk mencegah bertambahnya konflik antara gajah liar dengan manusia, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bersama Forum Konservasi Leuser (FKL) memasang kerah pelacak pada hewan tersebut.
Menurut Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo, kerah pelacak dipasang pada dua kelompok gajah Sumatra di Kabupaten Aceh Timur.
Baca Juga : Genderqueer, Ketika Seseorang Tidak Merasa Sebagai Pria Ataupun Wanita
Tujuan dari pemasangan kerah pelacak adalah untuk memberikan informasi lokasi gajah secara berkala serta sebagai peringatan dini ketika terjadi konflik.
Tidak hanya itu, alat ini juga digunakan untuk mengetahui jalur lintasan kelompok gajah sehingga dapat membantu penataan ruang di Provinsi Aceh.
Pemasangan kerah pelacak sudah dilakukan pada gajah liar di Kabupaten Bener Meriah, Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara, dan Aceh Jaya.
Source | : | mongabay.co.id |
Penulis | : | Nathania Kinanti |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR