Di Cina, lambang swastika awalnya menjadi karakter yang berarti 4 wilayah di penjuru dunia, pada tahun 700 M, digunakan menjadi kata ‘wan’ yang artinya sepuluh ribu simbol ‘jumlah yang tak terbatas’. Motif tersebut tak hanya menjadi motif religius di tempat-tempat sakral, namun juga menjadi motif simbolik yang digunakan untuk keberuntungan, kesejahteraan, keabadian.
Penanda lain penggunaan simbol Cina adalah penggunaan motif bunga teratai untuk dua buah pasak menonjol di pintu depan rumah bheley. Demikian pula dengan motif bunga teratai atau lotus, yang menjadi simbol kemurnian dalam Budhisme dan kebudayaan Cina.
Baca Juga : Pulau Penyengat, Pulau Kecil dengan Warisan Budaya Melayu yang Besar
Sayang, warga Labuhan tak lagi mengenal makna-makna simbol yang terukir di rumah tradisional yang hanya tersisa 6 rumah saja. “Rumah milik warga, rumahnya Umbrah, Tohari, Ramla, Tinggal, Sumidah,”ujar Sahril.
“Rumah-rumahnya terutama ukiran-ukiran itu jadi buruan kolektor,” ujar Sahril yang menjelaskan bahwa rumah-rumah tersebut pernah memenuhi sudut kampungnya sekitar 30an tahun. Rumah-rumah tradisional itu pun kini terkepung rumah megah berlantai dan berdinding keramik.
“Hasil warga menjadi TKI di Malaysia,” ungkap Sahril sambil menceritakan banyaknya warga desanya yang mengadu nasib ke negeri jiran. Sahril pun menyayangkan hilangnya rumah-rumah tradisional Labuhan beserta furniturnya!
“Tinggal sisa itu saja, furnitur kuno ya sudah tidak ada, semoga rumah-rumah ini tetap ada,”pungkasnya.
Saya memahami kegelisahan Sahril, namun saya dapat memahami kebutuhan warga yang memilih mendirikan bangunan baru dibanding mempertahankan rumah tradisionalnya. Padahal bagi saya yang baru kali itu datang ke Labuhan, senang sekali bisa menikmati pantai lengkap dengan budayanya, mangrove di wilayah Labuhan, arsitektur rumah beragam hias tradisional, produksi kapal bercadik ‘Jung Julung’ yang berada tak jauh dari rumah tradisional di wilayah sisi Masaran, disambut ramahnya warga yang duduk santai sambil menawarkan rujak buah serta gorengan singkong.
Rasanya, hati saya berlabuh di Labuhan. Mungkin saja, para pejalan yang datang ke Labuhan bisa merasakan hal yang sama seperti saya.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR