Nationalgeographic.co.id - Saya menyusuri pantai utara desa Labuhan – Masaran di Bangkalan sembari menginjak pasir pantai dengan warna semburat krem putih pada pagi hari saat matahari mulai menyengat, pasir hangatnya masih menyisakan rasa sensasi pasir hangat yang memijat syaraf-syaraf telapak dan punggung kaki saya. Pagi itu saya ditemani seorang warga, Mohammad Sahril (47).
Angin semilir dari kawasan pantai yang menjadi tempat konservasi mangrove desa Labuhan menambah pemandangan asri lanskap desa pesisir pantai utara Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Terbersit, mengapa namanya Labuhan?
“Labuhan dulu tempat berlabuhnya kapal-kapal orang Cina dan pedagang asing kata orang-orang tua dulu,” ujar Mohammad Sahril pelopor pelestarian mangrove sekaligus penggiat pariwisata di desa Labuhan dan Masaran.
“Ada turunan Cina yang menikah di sini, keluarga muslim di desa sini,” ujarnya. Saya tidak mengganti penggunaan kata Cina dengan kata Tionghoa karena Pak Sahril lebih memilih menggunakan kata Cina.
"Ya di sini nyebutnya Cina, Cena ya. Biasa begitu,"ujarnya dengan singkat ketika saya menanyakan apakah kata Tionghoa atau Cina yang lebih sering digunakan masyarakat desa Masaran dan Labuhan - pesisir utara - Pulau Madura itu.
Baca Juga : Nyah Kiok dan Tujuh Bidadari Lasem, Kisah Batik Tiga Negeri Pantura
Ya, Madura, pernah disebut-sebut dalam kronik Cina yang berjudul Yingya Shenglanyang ditulis oleh Mahuan tahun 1416 dan Shun Feng Xiang Songyang ditulis era Dinasti Ming (1368-1398) tepatnya pada masa Ekspedisi Cheng He. Dalam kronik Yingya Shenglan, Madura disebut Zhong Jia Luo (Groeneveldt dalam Notes on The Malay Archipelago and Malacca membuat transkripsinya dengan sebutan Tiong Ka La).
Dituliskan bahwa: “Tiong Ka La terlihat hijau, dengan gua-gua besar dan memiliki tiga pintu masuk. Di wilayah tersebut dihuni sekitar 20.000 orang. Agrikulturnya seperti di Jawa, cuacanya selalu hangat. Tradisi masyarakatnya masih asli. Mereka tidak memiliki pemimpin namun mereka patuh pada orang yang dituakan. Laki laki dan perempuan memiliki rambut yang digelung, pakaiannya dari katun dan mengenakan sarung bergaris. Mereka merebus air laut dan membuat garam, mereka juga membuat arak dari fermentasi beras ketan. Barang ekspornya berupa kijang, burung beo, katun, biji cokelat, dan kain kasa. Barang impornya berupa perak dan sutera motif bunga.”
Dalam kronik Shun Feng Xiang Song yang ditulis anonim diperkirakan disusun mulai tahun 1430 dan selesai tahun 1571, Madura disebut Wuliuna Shan (Gunung Wuliuna). Madura menjadi tempat pemberhentian ketika kapal ekspedisi Cheng He berlayar menuju Pulau Timor. Madura terutama Sumenep sudah ramai oleh orang Cina yang menetap di sana sejak Abad 17 seperti yang dituliskan Claudine Salmon dalam artikelnya yang berjudul The Han Family of East Java, Enterpreneurship and Politics 18-19 Century yang terbit di jurnal Archipel tahun 1991.
Lebih lanjut, Salmon juga menyebutkan adanya keluarga marga Han yang menyebar di Madura terutama di Bangkalan, Sumenep dan Sampang. Di Sumenep bahkan terdapat klenteng yang dibuat oleh marga Han dengan nama Baoshan Linggong dengan dewa utamanya Dewi Samudera.
Pada tahun 1901, paling tidak terdapat 4.000 orang Cina di Madura, setara dengan jumlah orang Cina di Madiun dan Karawang dan lebih besar dari jumlah orang Cina di Yogyakarta dan Probolinggo.
Cukup panjang kisah masuknya orang Cina di Madura, hal ini memungkinkan adanya pertukaran budaya, saling serap dan saling bertoleransi ada orang Madura dan orang Cina. Ketika saya melakukan perjalanan ke Bangkalan pada bulan Oktober tahun 2018 silam, saya berkesempatan untuk tinggal beberapa hari di Desa Labuhan. Itu kali pertama saya menjejak kaki di Madura!
Sedari dulu saya hanya mendengar dan membaca tentang pengaruh Cina di Madura seperti batik, arsitektur dan Sumenep - kota yang memiliki ikon Keraton dan Masjid Jami yang konon dirancang oleh arsitek keturunan Cina pada abad 18 dan dibangun bersama-sama dengan masyarakat muslim Sumenep.
Sejatinya, Madura memiliki sejarah panjang dengan berlapis kebudayaan. Madura pernah berada di bawah kerajaan Hindu Kediri (1042-1222), Singhasari (1222-1292), Majapahit (1293-1500). Nama dan asal usul Madura pun tercatat dalam Negarakertagama (1365) karangan Empu Prapanca yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit pun menunjukkan bahwa daratan Madura menjadi satu dengan Pulau Jawa.
Saking ramainya Jalur Sutera Maritim dan Jalur Rempah di kawasan timur Nusantara, Madura juga menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang Arab, Cina dan lainnya sampai kemudian bangsa Eropa datang berburu rempah-rempah. Tak heran, banyak bentuk akulturasi budaya yang membentuk identitas Madura dan masyarakatnya saat ini.
Saya menyusuri garis pantai hampir sepanjang 2 kilometer yang menghubungkan dua desa yaitu Labuhan dan Masaran. Saya sempat berpapasan dua orang warga yan baru saja menebar jaring tradisional di pantai dan membawa tangkapan lobster segar berukuran besar.
Tak lama berjalan, mata saya tertumbuk pada beberapa rumah tradisional dengan desain arsitektur yang unik. Salah satu rumah yang saya jumpai berupa rumah mungil berukuran lebar 4 meter dan panjang hanya sekitar 7 meter dengan atap pelana dengan hiasan pada ujung bubungan atap seolah tampak pengaruh Cina pada bubungannya.
Baca Juga : Tenun dan Batik Lukis Mengagumkan ala Warga Tuli-Bisu Desa Bengkala
Ada varian lain rumah yang cukup lebar dengan lebar sekitar 8 meter dan panjang sampai 15 meter. Semua rumah-rumah tersebut menghadap ke arah utara berhadapan dengan pantai. Langgamnya tampak seperti paduan antara Cina, Madura, Jawa, bahkan bernafas Majapahitan.Tak heran, Madura memiliki sejarah panjang.
Perhatian saya tertuju pada ukiran gebyok depan rumah tersebut. Ukiran ragam hias bunga, sulur, dedaunan khas ragam hias Jawa menghiasi pinggiran pintu dan gebyok kayu. Menariknya, terdapat motif swastika alias ‘banji’- (Wan Zi dalam Bahasa Mandarin) yang artinya sepuluh ribu – di setiap rumah-rumah itu. Seolah menjadi motif pakem, motif ‘banji’ menjadi motif utama yang menghiasi kanan kiri pintu utama rumah-rumah yang disebut “Bheley” dan berdinding anyaman bambu ‘tabing’ itu.
Motif ‘banji’ pun tersemai bersama motif Cina lainnya di barang-barang rumah tangga seperti ranjang, daun pintu dan jendela, kotak penyimpanan keris, dan peti angkut upeti kuna. Terbanyak motif Cina peranakan terdapat pada ranjang-ranjang khas berukuran sekitar 1,5x2 meter dengan atap tepi dan atap ranjang berukir motif ‘pakem’nya yaitu sepasang kilin, singa, burung hong, naga, tepian banji, serta bunga teratai. Kilin merupakan symbol panjang umur, kebijaksanaan, kebahagiaan, dan harapan memiliki keturunan yang baik; singa merupakan mahluk penjaga dan pelindung; burung hong dan naga ada simbol yin-yang bersatunya wanita dan pria; tepian banji adalah simbol kesejahteraan; teratai simbol kesucian.
Banji, sejatinya adalah ragam hias swastika dalam kebudayaan Hinduisme dan Budhisme yang kemudian menjadi salah satu motif ragam hias dalam kebudayaan Cina. Banji telah digunakan oleh masyarakat Kebudayaan Indus Mohenja Daro (2.500 – 1.500 SM) sebagai lambang keberuntungan.
Di Cina, lambang swastika awalnya menjadi karakter yang berarti 4 wilayah di penjuru dunia, pada tahun 700 M, digunakan menjadi kata ‘wan’ yang artinya sepuluh ribu simbol ‘jumlah yang tak terbatas’. Motif tersebut tak hanya menjadi motif religius di tempat-tempat sakral, namun juga menjadi motif simbolik yang digunakan untuk keberuntungan, kesejahteraan, keabadian.
Penanda lain penggunaan simbol Cina adalah penggunaan motif bunga teratai untuk dua buah pasak menonjol di pintu depan rumah bheley. Demikian pula dengan motif bunga teratai atau lotus, yang menjadi simbol kemurnian dalam Budhisme dan kebudayaan Cina.
Baca Juga : Pulau Penyengat, Pulau Kecil dengan Warisan Budaya Melayu yang Besar
Sayang, warga Labuhan tak lagi mengenal makna-makna simbol yang terukir di rumah tradisional yang hanya tersisa 6 rumah saja. “Rumah milik warga, rumahnya Umbrah, Tohari, Ramla, Tinggal, Sumidah,”ujar Sahril.
“Rumah-rumahnya terutama ukiran-ukiran itu jadi buruan kolektor,” ujar Sahril yang menjelaskan bahwa rumah-rumah tersebut pernah memenuhi sudut kampungnya sekitar 30an tahun. Rumah-rumah tradisional itu pun kini terkepung rumah megah berlantai dan berdinding keramik.
“Hasil warga menjadi TKI di Malaysia,” ungkap Sahril sambil menceritakan banyaknya warga desanya yang mengadu nasib ke negeri jiran. Sahril pun menyayangkan hilangnya rumah-rumah tradisional Labuhan beserta furniturnya!
“Tinggal sisa itu saja, furnitur kuno ya sudah tidak ada, semoga rumah-rumah ini tetap ada,”pungkasnya.
Saya memahami kegelisahan Sahril, namun saya dapat memahami kebutuhan warga yang memilih mendirikan bangunan baru dibanding mempertahankan rumah tradisionalnya. Padahal bagi saya yang baru kali itu datang ke Labuhan, senang sekali bisa menikmati pantai lengkap dengan budayanya, mangrove di wilayah Labuhan, arsitektur rumah beragam hias tradisional, produksi kapal bercadik ‘Jung Julung’ yang berada tak jauh dari rumah tradisional di wilayah sisi Masaran, disambut ramahnya warga yang duduk santai sambil menawarkan rujak buah serta gorengan singkong.
Rasanya, hati saya berlabuh di Labuhan. Mungkin saja, para pejalan yang datang ke Labuhan bisa merasakan hal yang sama seperti saya.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR