Kami memasuki aula berlangit-langit tinggi, yang dihubungkan oleh beberapa pintu. Ruangan ini memiliki semacam meja resepsionis layaknya hotel. Di sebelahnya terdapat ruangan lagi dengan pilar-pilar. Setiap sisi pilarnya tertambat meja gantung, mungkin digunakan untuk menulis berkas pendek.
Selain sebagai stasiun kereta, dahulu bangunan ini juga merangkap sebagai penginapan. Setelah lelah mengarungi samudra, para pejalan bisa beristirahat di penginapan Stasiun Tanjungpriuk sembari menanti keberangkatan mereka ke Stasiun Bogor, atau tujuan lain. Sederet kamar penginapan berlokasi di lorong kantai kedua pada sayap barat stasiun, hingga kini masih lestari. Deretan kamar itu dihubungkan oleh dua anak tangga di setiap ujungnya.
Kami memasuki kamar kecil yang terletak di balik aula tadi. Tiga urinoar porselen putih berlabel “R.S.Stokvis & Zonen – Rotterdam” warna biru masih memukau perhatian. Bisnis perusahaan yang didirikan Rafael Samuel Stokvis ini sohor melayani kebutuhan kendaraan bermotor, sepeda, hingga urusan peturasan.
“Budaya keramik ini pernah menyemarakkan pembangunan Kota Jakarta,” ujar Rusdhy sambil menunjuk lantai kamar kecil yang menampilkan paduan pola nan indah. "Gaya-gaya seperti inilah yang mewakili awal abad ke-20."
Di balik kamar kecil, dari tangga sempit yang melingkar, kami naik hingga atap stasiun. Sudah barang tentu, dahulu tangga ini hanya digunakan oleh awak stasiun, bukan tetamu. Tangga itu juga menghubungkan dengan ruangan lantai dasar stasiun yang kini dibiarkan gelap gulita dan terbanjiri air. Menaiknya muka laut, mengingatkan kita tentang bencana ambles dan tenggelamnya Jakarta.
"Jadi saya pikir," ujarnya, "menapaki masa lalu itu sungguh penting. Hanya mereka yang bisa memahami masa lalu, yang akan meraih masa depan!"
Di atap Stasiun Tanjungpriuk, saya memandangi kesibukan derek yang memindahkan peti kemas di pelabuhan. Kesibukan yang pernah menandai kemunculan stasiun ini pada abad akhir ke-19.
Kita telah berkereta satu setengah abad. Apa yang bisa kita petik dari riwayat kereta api untuk masa depan Indonesia? Saya teringat perkataan Rusdhy bahwa andaikata perkerataapian di Indonesia bisa dibangun hingga sepuluh tahun mendatang, kelak hasilnya sangat berdampak pada kemajuan transportasi di Indonesia.
Kereta boleh jadi transportasi paling murah. Sekarang, kereta api lebih sehat dan aman ketimbang kereta pada satu dekade silam. Stasiun-stasiun juga bersolek sehingga membuat nyaman penumpang, kendati belum semuanya bisa dikategorikan nyaman. Tampaknya, ada penanda peradaban baru dalam berkereta listrik di Indonesia: tersedianya tempat duduk prioritas bagi penumpang berkebutuhan khusus dan tak ada lagi penumpang di atap kereta. Untuk segelintir persoalan di metropolitan, tampaknya kereta telah mengubah budaya transportasi kita.
Salah satu upaya membangkitkan kembali semangat berkereta sebagai solusi transportasi zaman kini, menurut Rusdhy, adalah merevitalisasi aset-aset kereta api kita. Upaya utamanya, meruwat jalur-jalur rel kereta yang hilang di Jawa, Madura, Sumatra, dan Sulawesi. Mungkin, panjang rel yang tak lagi digunakan, atau bahkan hilang, mencapai ribuan kilometer.
“Dulu di Madura ada kereta api, di Sulawesi ada kereta api, kenapa sekarang hilang?” Kemudian Rusdhy menandaskan, “Jadi bangsa kita, abis menjebol, lupa membangun!”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR