Nationalgeographic.co.id - Riset biodiversitas di kawasan urban dan mudah dijangkau tidak kalah menarik dibanding riset serupa di daerah lereng pegunungan, pedalaman hutan, atau daerah yang tidak terjamah.
Salah satu contoh yang terkenal adalah cerita ahli ekologi Amerika Serikat Mark Erdmann yang menemukan ikan purba Coelacanth di Manado, Sulawesi Utara.
Suatu hari, pada September 1997, Mark dan istrinya berkunjung ke sebuah pasar di Manado. Di sana dia melihat sebuah spesies ikan aneh, yang kemudian diketahui sebagai salah satu ikan tertua di dunia. Ikan ini, seekor Coelacanth, bahkan diberi nama alias fosil hidup (living fosil). Temuan itu kemudian ditulis dalam sebuah makalah pendek yang terbit di Nature.
Dalam perkembangan berikutnya, kini selain ikan Coelacanth, ada banyak spesies ikan lain yang telah tercatat terancam punah dan harus dilindungi.
Dari Cikapundung, Bandung, kami juga punya cerita menarik tentang biodiversitas urban. Dari sekitar 335 spesies yang kami temukan di bantaran Sungai Cikapundung, 22 spesies (7%) di antaranya merupakan spesies invasif alias bukan spesies asli habitat di sana. Spesies ini mengganggu pola hidup spesies lainnya. Kami juga menemukan ada pengurangan tutupan vegetasi dari hulu ke hilir sungai. Ini merupakan riset pertama untuk biodiversitas di bantaran sungai tersebut.
Pada 2017, kami bersama Keukeu Kaniawati Rosada dari Universitas Padjadjaran dan dua mahasiswa Tantra Rahmadia dan Meli Triana Devi, mengamati keanekaragaman ekosistem di bantaran (zona riparian) sungai Cikapudung. Hasilnya telah kami sampaikan di konferensi internasional di Semarang.
Dalam studi ini, kami memetakan/membagi Sungai Cikapundung menjadi 100 segmen observasi. Di setiap segmen, kami mengamati dalam kuadran berukuran 5x20 meter. Karena biodiversitas merupakan variasi dan variabilitas kehidupan di Bumi, kami mengukur variasi pada level genetik, spesies, dan ekosistem.
Temuan sekitar 335 spesies di Sungai Cikapundung itu berasal dari arah hulu hingga muaranya ke Sungai Citarum. Indeks diversitas dan kekayaan spesies umumnya tinggi di bagian hulu dan rendah di bagian hilir. Diversitas tanaman tak berkayu atau herba lebih tinggi dibanding perdu dan pepohonan. Melihat angka-angka ini, seolah begitu membuka pintu rumah, kita sudah langsung melihat keanekaragaman alam.
Dari spesies invasif sebesar 7% (22 spesies), ada dua spesies yang dominan yaitu Alternanthera philoxeroides (bayam kremah) dan Ageratum conyzoides (bandotan). Dampak dari kehadiran spesies invasif bisa macam-macam. Misalnya, dua spesies ini terkenal dapat mengganggu nutrisi vegetasi lain serta memenuhi alur sungai, sehingga mengganggu transportasi air.
Dua spesies ini diketahui berasal dari Amerika Selatan. Dalam perkembangannya, kedua spesies ini juga berkembang di Asia, termasuk Indonesia. Proses migrasinya belum diketahui dengan pasti sehingga perlu riset lebih lanjut.
Selain riset kami, pola penyebaran vegetasi di Bandung sudah menjadi riset menarik sejak awal 1990-an, saat sekelompok peneliti Belanda menelaah penyebaran polen (serbuk sari) tumbuhan untuk merekonstruksi bentang alam Cekungan Bandung pada masa lampau.
Zona riparian atau hyporeik adalah zona menarik bagi para peneliti air. Berada di tepian sungai, zona ini memiliki setidaknya tiga fungsi penting: menjadi zona imbuhan air, menjaga ekosistem, dan menjadi zona penyanggah.
Zona ini, disebut pula sebagai bantaran sungai, juga memiliki fungsi sebagai benteng ketahanan sosial dan dapat dikembangkan sebagai ruang terbuka hijau. Dalam ilmu arsitektur lanskap saat ini, bantaran sungai yang natural terbukti mampu mengatasi banjir, melalui proses peresapan air, lebih baik dibanding kanal buatan berdinding beton.
Dalam riset ini, kami menunjukkan ada pengurangan tutupan vegetasi dari hulu ke hilir, dengan persentase vegetasi hanya 16% dari total luas sub daerah aliran sungai (DAS) Cikapundung. Prosentase ini merupakan salah satu indikasi bahwa lahan di bantaran Cikapundung lebih banyak terisi lahan terbangun. Hasil ini dapat menjadi dasar (baseline), karena belum pernah ada riset sejenis sebelumnya.
Hasil telaah citra SPOT-6 menunjukkan konsentrasi pohon tertinggi ada di Taman Hutan Raya (Tahura) Juanda, yang bisa mencapai 80 meter. Tutupan pohon luasnya nomor dua setelah jenis tumbuhan ladang (sayur-mayur, jagung, dan yang sejenis) sebanyak 23%.
Dari riset ini kami menunjukkan bahwa studi tentang biodiversitas ini tidak hanya monopoli daerah-daerah yang ada di lereng pengunungan atau memiliki wilayah tak terjamah. Studi yang dilakukan oleh Yayasan KEHATI Indonesia, misalnya berhasil mengidentifikasi berbagai spesies burung dan serangga di Kota Jakarta.
Upaya pemetaan keragaman vegetasi di Bantaran Sungai Brantas juga dilakukan oleh sekelompok dosen dari Universitas Muhammadiyah Malang. Riset ini menjadi menarik karena hasil akhir kegiatan ini adalah bahan ajar untuk siswa sekolah menengah. Berikutnya ada CIFOR yang telah membuat beberapa perangkat untuk menghitung keragaman hayati.
Biodiversitas atau keanekaragaman hayati (kehati) menjadi pembicaraan penting saat ini di tengah perubahan peruntukan lahan hijau untuk kawasan industri dan perumahan. Kehati menjadi salah satu elemen penting, karena akan terkait dengan daya dukung lingkungan. Karena begitu penting, elemen itu masuk ke dalam dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang termuat dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut dokumen itu, biodiversitas idealnya diukur secara kontinyu untuk mengetahui situasi lingkungan, karena setiap komponen ekosistem memiliki fungsi yang saling mengait, termasuk vegetasi di dalamnya.
Di negara lain, hasil pencarian daring mengarahkan kita ke negara seperti Irlandia, Brasil dan Amerika Serikat, yang sudah melahirkan repositori data kekayaan spesies yang ada di negeri itu. Datanya bahkan dapat diunduh secara lengkap dan bebas oleh publik.
Indonesia yang memiliki banyak biodiversitas, bahkan di sekitar rumah kita, membutuhkan lebih banyak lagi riset biodiversitas. Syarat penting riset keragaman hayati adalah sensitivitas peneliti terhadap alam sekitar. Begitu hasil risetnya didapat, perlu segera menuliskannya dalam bentuk yang paling sederhana dan menyebarkannya via media daring untuk mengundang umpan balik dari peneliti lainnya atau pembaca umum.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR