Nationalgeographic.co.id - TIGA PULUH TAHUN SILAM, potensi dampak merusak emisi pemerangkap panas dari pembakaran bahan bakar fosil dan hutan hujan menjadi tajuk utama. Dibutuhkan seabad perkembangan sains, dan pergeseran persepsi besar-besaran untuk mengetengahkan topik ini. Sesungguhnya, Svante Arrhenius, ilmuwan pelopor dari Swedia yang pertama kali memperkirakan skala pemanasan dari maraknya pembakaran batu bara pada 1896, justru memandang ini sebagai anugerah.
Ada banyak berita yang tersebar selama puluhan tahun tersebut, termasuk artikel sangat gamblang di New York Times pada 1956, yang memaparkan tentang kesulitan utama dalam membatasi emisi berbahaya: persediaan bahan bakar fosil yang melimpah. “Batu bara dan minyak bumi masih melimpah dan murah di banyak tempat di dunia, dan keduanya bisa dipastikan akan terus digunakan oleh sektor industri selama masih memungkinkan.”
Baca Juga: Belajar dari Sejarah, Berikut 5 Perang Saudara yang Paling Banyak Renggut Korban Jiwa
The Intergovernmental Panel on Climate Change dibentuk pada akhir 1988, setelah berbagai macam faktor meletakkan bahaya efek rumah kaca dalam sorotan. Rancangan solusinya sudah dirumuskan setahun sebelumnya, ketika sejumlah negara menandatangani Montreal Protocol, yang melandasi langkah mengeliminisasi senyawa sintetis yang membahayakan lapisan ozon pelindung atmosfer.
Momen penentuan terjadi pada 23 Juni, dalam sebuah kesaksian mengguncangkan di Senat. James E. Hansen—seorang ilmuwan iklim yang mengalihkan perhatiannya dari penelitian mengenai kondisi panas di Venus ke perubahan atmosfer Bumi yang disebabkan oleh manusia—dengan gamblang menyimpulkan bahwa “efek rumah kaca telah terdeteksi dan tengah mengubah iklim kita saat ini.”
Baca Juga: Bagaimana Berita Palsu Bisa Memengaruhi dan Mendistorsi Pikiran Kita?
PERJALANAN JURNALISTIK saya untuk mempelajari sains perubahan iklim, dampak, dan pilihan energi yang terkait, dimulai secara serius pada bulan yang sama di Toronto, tepatnya dalam World Conference on the Changing Atmosphere pertama. Perjalanan ini berlanjut. Banyak detail telah berubah, tetapi isu utamanya kurang lebih masih sama seperti ketika saya dan para jurnalis lain menemukannya pada 1988.
Oktober itu, cerita sampul majalah Discover saya membahas tentang ancaman banjir di Miami, potensi penguatan badai, ramalan lonjakan emisi di Tiongkok, kerapuhan salju padat California, dan lainnya. Terdapat pula pembahasan tentang ketidakpastian perkiraan tingkat pemanasan yang tetap ada hingga kini. Artikel ini ditutup dengan kutipan dari Michael B. Elroy, seorang profesor dari Harvard University: “Jika kita memilih untuk menerima tantangan ini, sepertinya kita akan bisa memperlambat laju perubahan secara substansial, sehingga akan ada waktu untuk mengembangkan mekanisme agar kerugian pada masyarakat dan kerusakan di ekosistem bisa diminimalisir. Alternatifnya, kita bisa menutup mata, berharap yang terbaik, dan baru membayar saat tagihan datang.”
Baca Juga: Hasil Asimilasi Budaya, Inilah Sejarah Sate Maranggi Khas Sunda
Peringatan itu mungkin tidak asing lagi didengar. Ilmuwan, penggalak iklim, dan politisi yang peduli banyak mengeluarkan pernyataan senada sejak itu. Namun, tidak menghambat laju kenaikan emisi.
Banyak perkembangan terjadi dalam teknologi energi terbarukan, dengan pertumbuhan pesat sistem tenaga surya dan angin, dan performa baterai yang diperlukan untuk menyalakan lampu ketika matahari terbenam dan udara tenang. Namun, masih ada 85% bagian dunia yang mengandalkan bahan bakar fosil untuk memuaskan dahaga terhadap energi. Kemajuan di bidang efisiensi dan energi terbarukan terhambat oleh semakin tingginya permintaan akan energi fosil seiring berkurangnya angka kemiskinan. Di AS dan sebagian besar Eropa, penggunaan tenaga nuklir berkandungan karbon rendah justru berkurang karena masyarakat, yang dibayangi ketakutan masa lalu, mendesak penutupan pembangkit tua, sementara pembangunan pembangkit baru terhambat oleh tingginya biaya.
Baca Juga: Melempar Anak Laki-laki ke Telaga, Ritual Pengorbanan Suku Maya untuk Dewa Hujan
APA PENJELASAN tentang kurangnya kemajuan yang menentukan, di bidang perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia? Bisakah kita menyebutkan biang kerok utamanya? Ada begitu banyak teori dan target, dan berbagai macam penyebab. Di antaranya: kurangnya dana untuk riset dasar (saya kerap berada di posisi ini), pengaruh industri di dunia politik, lemahnya liputan media, dan keraguan akan kenyataan perubahan iklim yang ditebarkan oleh para investor bahan bakar fosil atau pihak yang menentang intervensi pemerintah. Ada pula “kekurangnyamanan” kita sendiri—penjabaran saya untuk beragam perilaku manusia dan norma sosial yang memperunyam masalah perubahan iklim.
Selama bertahun-tahun saya mengira bahwa semua tersangka bersalah. Namun ada kemungkinan lain. Barangkali alih-alih memandang perubahan iklim sebagai kesalahan lingkungan yang harus dibenahi, lebih tepat jika kita menganggapnya sebagai bahaya yang harus ditanggulangi secara perlahan-lahan—kekuatan manusia untuk mengelola planet melampaui, setidaknya untuk saat ini, kapasitas kita untuk menanggulangi dampak signifikan. Saya bermain-main dengan gagasan ini dalam sebuah artikel berjudul “Puberty on the Scale of a Planet” pada 2009, yang mengibaratkan spesies kita sebagai remaja yang tengah bertransisi menjadi orang dewasa dengan segala badai perubahannya, tetapi menolak untuk tumbuh—dengan bahan bakar fosil yang berperan sebagai testosteron.
Baca Juga: Mengenang Bencana Chernobyl, Insiden Nuklir Terburuk di Dunia
Namun situasinya jauh lebih pelik. Semakin banyak saya melaporkan dari permukiman kumuh tanpa listrik di Kenya dan perkampungan India tempat orang-orang masih masak menggunakan arang hitam dan kayu bakar, jelaslah bahwa tidak ada istilah “kita” dalam urusan energi maupun kerentanan terhadap ancaman bahaya iklim. “Kita” yang kaya memiliki biaya untuk beralih ke energi bersih dan memotong kerentanan terhadap panas, banjir, dan lainnya. Namun masih banyak orang yang harus berjuang untuk memperoleh manfaat ekonomi mendasar dari penggunaan bahan bakar fosil.
Penelitian oleh begitu banyak ilmuwan dan akademisi mendukung kesimpulan merisaukan: Perubahan iklim tidak seperti masalah lingkungan hidup apa pun yang pernah kita hadapi. Kita tidak bisa “memperbaikinya” seperti kabut asap atau lubang ozon, dengan regulasi dan perjanjian, serta perubahan teknologi yang terbatas. Perubahan iklim memiliki skala ruang, waktu, dan kompleksitas terlalu besar; emisi yang menjadi penyebabnya adalah konsekuensi dari upaya 7,5 miliar manusia yang ada kini, dan 10 miliar manusia beberapa dekade ke depan untuk hidup sejahtera di Bumi.
Baca Juga: Sering Dibuang, Bagian Buah dan Sayur Ini Ternyata Banyak Manfaatnya
BENTUK SESUNGGUHNYA dari apa yang terjadi di Bumi baru menyeruak ketika lonjakan emisi rumah kaca dianggap setara dengan metrik aktivitas manusia lainnya. Laporan ilmiah “The Great Acceleration” pada 2015 memuat grafik yang memetakan sinyal aktivitas manusia, dari hilangnya hujan tropis hingga produksi kertas dan penggunaan air. Sebagian besarnya berbentuk sama dengan kurva emisi CO2. Polusi dan dampak iklim, oleh karena itu, adalah gejala dari sebuah situasi yang lebih luas: momen perpaduan yang semakin jamak disebut Antroposen.
Adam Frank, ahli astrofisika di University of Rochester, mulai mereka-reka apa jadinya planet kita di bawah berbagai skenario berbeda. Menggunakan model matematika yang cukup sederhana, didapatkan tiga garis besar skenario, yang dijelaskan oleh Frank dalam buku barunya yang berjudul Light of the Stars. Skenario pertama adalah “soft landing,” di mana peradaban dan planetnya mendarat dengan mulus di kondisi kestabilan baru. Yang kedua adalah “die off,” di mana kondisi lingkungan planet menurun dan jumlah populasi anjlok tetapi masih bertahan.
Dan ada skenario ketiga: collapse. “Populasi bangkit, kondisi planet ‘memanas,’ dan di satu titik, populasi anjlok hingga titik nol,” kata Frank. “Kita bahkan menemukan solusi di mana kolaps bisa terjadi setelah populasi beralih dari sumber energi berdampak tinggi—bahan bakar fosil—ke sumber energi berdampak rendah, surya.”
Baca Juga: Disebut Jadi Calon Ibu Kota Baru, Apakah Benar Sejarah Kota Pontianak Berhubungan dengan Kuntilanak?
Perspektif antarplanet Frank ini menjelaskan bahwa krisis iklim lebih tepat dianggap sebagai tantangan besar, yang membutuhkan waktu seumur hidup, bahkan bergenerasi-generasi untuk dipecahkan oleh manusia, dengan perpaduan antara desakan dan kesabaran. Perubahan sudut pandang ini merisaukan, tetapi juga membebaskan: ini berarti, siapa pun yang memiliki motivasi dan kegigihan, bisa membuat perbedaan—entah itu guru atau insinyur, seniman atau investor, atau sekadar penghuni planet yang terlibat.
Dengan menelaah ruang angkasa untuk menilai prospek Bumi, Frank kembali ke titik awal James Hansen—penelitian awalnya tentang tetangga superpanas kita, Venus. Pada awal tahun ini, saya bertanya kepada Frank tentang apa yang dilihatnya pada masa depan Bumi.
Menurut Frank, biosfer mana pun yang melibatkan peradaban industrial berskala planet, mungkin akan kesulitan menghindari gangguan besar. “Pertanyaannya, sekerap apakah peradaban bisa melewati transisi dan muncul kembali sebagai bagian yang masih penting dari biosfer yang kini telah berubah,” kata Frank. “Sebagian besar mungkin tergantung pada warisan evolusi spesies,” ujarnya—apakah populasi bisa bertindak sebagaimana yang diperlukan untuk beradaptasi, dan dengan penuh tanggung jawab mengelola realitas baru.
Ini adalah pertanyaan untuk Bumi, katanya: “Apakah kita memiliki yang diperlukan? Saya harap demikian, tetapi sepertinya kita akan melihatnya sebentar lagi.”
Oleh: ANDREW REVKIN
Sudut Pandang Baru Peluang Bumi, Pameran Foto dan Infografis National Geographic Indonesia di JILF 2024
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Warsono |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR