Selain menampilkan karya Mozart, Jakarta City Philharmonic juga menampilkan sederet suita malam seperti karya komponis Hugo Wolf (1860-1903), Serenade Italia; Benjamin Britten (1913-1976), Serenade untuk Tenor, Horn, Gesek; Pyotr Ilyich Tchaikovsky (1840-1893), Serenade dalam C mayor, Op. 48; dan Alfian Emir Aditya, Suita Musik Malam. Konser ini telah menghadirkan musik untuk beragam suasana hati.
Pengaba utama dalam konser ini adalah Budi Utomo Prabowo dan Vincent Wiguna sebagai pengaba tamu. Sementara itu kepiawaian vokal tenor nan takzim dari Satriya Krisna yang mengumandangkan karya Benjamin Britten, berpadu dalam alunan french horn nan menghanyutkan dari Ganang Dwi Asmoro. Kolaborasi keduanya terbukti menambah keanggunan Serenade malam itu.
Baca juga: Terungkap, Musik Cadas dan Kebisingan Kota pun 'Tak Ramah' Lingkungan
Serenade mengacu pada terminologi latin “serenus” atau dalam bahasa Inggris “serene” yang berarti anggun dan hening. Pada akhir abad ke-18, istilah serenade cenderung menggambarkan karya musik kamar yang ditujukan untuk hiburan ringan pada acara sosial. Kendati demikian, awalnya jenis musik ini melambangkan lagu-lagu malam untuk orang yang kasmaran.
Serenade begitu populer di daratan Eropa. Ketika itu, ansambel-ansambel biasa menggelar serenade di taman atau kebun di Kota Wina, tempat Mozart menghabiskan dekade terakhirnya. Tentu, seperti komponis zaman sekarang, penciptaan karya-karya semacam itu menjadi sumber pendapatan yang menguntungkan bagi mereka.
Ekspresi bermusik pada zaman Mozart mungkin berbeda dengan zaman sekarang. Kini, masyarakat kita tengah gandrung dengan teknologi mutakhir dan apapun yang sedang menjadi tren di media sosial. Sebagian dari kita pun menduga, seni musik klasik kian tidak relevan dalam menjawab kebutuhan peradaban metropolitan.
Benarkah demikian?
Dalam perjalanannya yang berabad-abad, musik klasik telah berevolusi. Jenis musik ini bukan sekadar musik yang dipentaskan di taman-taman kota sebagai hiburan warga, melainkan telah menjelma sebagai sebuah platform yang membentuk kerangka dasar untuk segala genre musisi pada hari ini. Bermain atau mendengarkan musik klasik merangsang kemampuan emosi dan kognitif sehingga memungkinkan otak kita berpikir dengan cara baru dan berbeda. Harmoni yang tercipta dalam alunan musik klasik pun digadang-gadang dapat turut membangun jiwa masyarakatnya, jiwa kota mereka.
Citra Aryandari, etnomusikolog dan pengajar Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, memaparkan tentang kedudukan musik klasik di hati warga kita. Kita sama-sama tahu, demikian ungkapnya pada kesempatan berbeda, bahwa musik orkestra bukan berasal dari Indonesia. Meski demikian, lanjutnya, orkestra berkembang dan dianggap sebagai penanda modernitas sebuah bangsa. “Bahkan,” ujarnya, “seolah setiap negara [menjadi] tidak modern apabila tidak memiliki orkestra baik dalam bentuk simphoni ataupun philharmonic.”
Ia mengungkapkan bahwa musik orkestra pada awalnya merupakan hiburan untuk kaum aristokrat. Tentu saja, imbuhnya, menyewa para musisi dalam jumlah yang besar memerlukan biaya yang besar—biasanya didukung filantropi atau pemerintah.
“Di Indonesia, musik simphoni orkestra bukan milik semua warga,” kata Citra, “setidaknya sangat berbeda jika kita melihat dangdut.” Kendati demikian, orkestra—musik klasik atau pop—turut dipopulerkan media, khususnya dalam tayangan televisi pada dekade 1980-an hingga awal 2000-an, yang menurutnya hal itu cukup mengedukasi selera bermusik masyarakat di masa itu.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR