“Sampai saat ini orkestra masih dianggap mahal dan borjuis bagi warga Indonesia,” ungkap Citra. Ia melihat peminat musik jenis ini begitu sempit. Peminatnya memang ada yang benar-benar suka. Akan tetapi, tak jarang para social climber menghadiri pertunjukan orchestra, demi mendapatkan penanda kelas sosial mereka.
Jakarta City Philharmonic berupaya menyajikan repertoar musik klasik dunia kepada warga Jakarta. Dalam rilis medianya, orkestra kota ini bertekad “menyajikan musik bermutu menjadi terjangkau, tidak elitis, dan mudah disentuh.” Sampai hari ini musik masih menjadi salah satu kebutuhan mendasar bagi warga metropolitan. Kemunculannya akan memperkaya kehidupan kultural warga yang mendorong tumbuhnya sanubari-sanubari yang sehat dan harmonis dalam melihat berbagai permasalahan belakangan ini. Warga mendapat pengalaman pribadi akan betapa kuatnya pengaruh musik dalam membentuk karakter mereka.
Demi menghadirkan musik klasik yang terjangkau warga, pemerintah (Badan Ekonomi Kreatif, Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dan Unit Pelaksana Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki) tertantang untuk mendukung peningkatan kualitas dan kesinambungan pada setiap gelaran konser JCP. Warga kota pun cukup mendaftar secara daring—dan tidak dipungut biaya. Mereka bisa menikmati program kesenian berkualitas tinggi, namun tetap terjangkau dan dapat dinikmati publik. Setidaknya, audiens pagelaran Serenade malam itu hampir memenuhi gedung Teater Jakarta yang berkapasitas 1.200 orang. Wajah-wajah generasi milenial tampak bermunculan di bangku penonton konser ini.
Yudi Andreas, penikmat musik klasik di Jakarta, mengungkapkan apresiasinya pada konser JCP pada kesempatan ini. “Konser Serenade ini mampu memperkaya pemahanan dan pengalaman kita akan musik klasik yang spesifik,” ujarnya seusai menyaksikan perhelatan ini. Tentu, menurutnya, perhelatan ini telah didukung oleh kemampuan kelompok orkestra kota yang sedang berkembang, namun cukup mumpuni.
Ia menambahkan kaitan antara konten yang dipentaskan dan audiens urban yang menyaksikan. “Jumlah gubahan yang dimainkan terlalu padat untuk suatu konser musik malam dengan pemerhati musik yang kebanyakan sudah penat dengan aktivitas kesibukan sebelumnya.”
Perihal perilaku para penonton konser, yang memberikan tepuk tangan sebagai tanda apresiasi kendati komposisi belum dimainkan secara utuh, ia turut memberikan saran. Komposisi terdiri atas bagian-bagian, demikian menurutnya, dan bertepuk tanganlah setelah komposisi itu selesai—bukan pada akhir setiap bagian itu. Satu lagi, menurut pemeriannya, terdapat etika tidak tertulis mengenai tepuk tangan panjang pada akhir pertunjukan sebagai pemancing encore—penampilan tambahan pada akhir konser, sebagaimana diminta oleh audiens—layaknya hadiah. “Kadang hal ini dibutuhkan untuk memberi apresiasi lebih kepada tim orkestra,” ungkapnya. “Kita membutuhkan edukasi untuk menjadikan penonton yang bermatabat.”
Yudi begitu terkesan pada bagian terakhir konser ketika JCP memainkan gubahan komposer anak negeri, Alfian Emir Aditya, yang bertajuk Suita Musik Malam. Sayang, Alfian tak bisa hadir lantaran masih menyelesaikan tahun terakhir studi selonya di Konservatorium Den Haag.
“Ini membawa kita ke suasana ringan, riang dan jenaka,” demikian ekspresi Yudi tentang orkestrasi Suita Musik Malam. “Seperti es krim cokelat berpadu dengan manisan ceri [yang disajikan] setelah hidangan santap malam yang cukup berat.”
Baca juga: Mendengarkan Musik Saat Bekerja Justru Menghambat Kreativitas?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR