Nationalgeographic.co.id - Menghias tubuh adalah elemen intrinsik dari budaya Papua Nugini. Ada simbol dan makna yang mendasari budaya tertentu kelompok etnis.
Solidaritas kelompok, dan identitas, juga sering diekspresikan melalui hiasan tubuh. Hal itu memanglah hal yang lazim di kalangan masyarakat di wilayah Selatan dan Dataran Tinggi.
Namun, menghias tubuh tampaknya lebih menonjol di kalangan masyarakat di dataran tinggi.
Baca Juga: Katak Berhidung Panjang Seperti Pinokio Ditemukan di Perbatasan Indonesia-Papua Nugini
Papua Nugini adalah salah satu negara dengan budaya paling beragam di dunia.
Yakni dengan 750 bahasa yang mewakili 750 kelompok etnis.
Papua Nugini terdiri dari 24 pemerintah provinsi, dan negara ini dibagi menjadi empat wilayah yang dikenal sebagai Momase, Dataran Tinggi, Kepulauan New Guinea, dan Wilayah Selatan.
Dari kelompok budaya dan etnis yang unik, ada penduduk asli bernama Huli di Dataran Tinggi yang terkenal.
Orang Huli terkenal karena sifatnya yang suka berperang, agresif, dan hiasan wajahnya serta kostum yang dekoratif selama pertempuran.
Selama lebih dari seribu tahun, orang Huli hanya membangun rumah jauh di dari Dataran Tinggi Selatan di Distrik Tari, Koroba, Magarima, dan Komo.
Baca Juga: Bercita-cita Dorong Warga Papua Jadi Presiden Indonesia, Lelaki Asal AS Ini Memilih Jadi WNI
Selama keberadaan mereka, sebagian besar sejarah dan budaya mereka telah ditransmisikan secara lisan dari generasi ke generasi.
Bahkan sampai akhir 1936, keberadaan mereka tidak dikenal di dunia luar.
Pemerintahan kolonial pun belum melakukan kontak dengan Huli sampai tahun 1951.
Bagi Huli, seperti halnya bagi banyak suku dan budaya yang dapat ditelusuri kembali ke jaman dahulu, seni wajah dan tubuh memainkan peran penting dalam ritual dan festival.
Karena Huli secara budaya adalah orang yang bertikai, mereka cenderung menyukai warna kuning cerah dan merah yang berani.
Warna-warna cerah yang dipakai Huli dalam upacara seremonial ini, tidak hanya menanamkan rasa takut pada lawan-lawan mereka, tetapi juga membantu menciptakan kesadaran bagi pejuang Huli itu sendiri.
Baca Juga: Bulbophyllum irianae, Spesies Anggrek Baru Yang Ditemukan di Papua
Kesadaran itu adalah bahwa mereka harus mengorbankan ketakutan mereka dan secara individu atas nama identitas bersama dan kepentingan kolektif suku.
Melukis wajah bagi orang Huli memang dilakukan saat ritual peperangan dan pra-dan pasca-perang.
Namun, mereka juga menerapkan riasan itu untuk pertemuan khusus lainnya, acara musiman, dan kegiatan ritual, seperti saat melakukan tarian spiritual dan upacara inisiasi.
Upacara inisiasi sangat penting karena menandai ritus peralihan dari anak ke orang dewasa dalam suku.
Selama acara ini, para pria mengambil peran utama untuk membuat desain wajah yang indah dan rumit.
Baca Juga: Kematian Seorang Warga Picu Pembantaian 292 Buaya di Papua Barat
Namun, selama tarian, yang disebut sebagai mali , orang dewasa dan anak-anak, termasuk wanita juga menggunakan riasan yang dikenakan di seluruh pertunjukan.
Warna latar untuk riasan wajah Huli biasanya terbuat dari tanah liat kuning yang disebut ambua.
Warna putih juga terkadang digunakan sebagai latar belakang untuk desain, dan minyak pohon bening, mbagwa , juga kadang-kadang digunakan sebagai penghapus.
Sementara susunan ini memiliki akar historis dan penting bagi ritual dan kegiatan budaya khusus Huli, dalam beberapa tahun terakhir, Huli telah menjadi subjek sirkuit wisata yang dijalankan secara lokal.
Untuk menenangkan atau menghibur para pelancong, Huli sekarang sering menggunakan warna yang kurang tradisional menggunakan cat akrilik dan bahan yang tidak terlalu tradisional.
Selain itu, alih-alih menggunakan riasan wajah untuk kegiatan tradisional, banyak yang memakai riasan wajah setiap hari sebagai bentuk pertunjukan bagi wisatawan.
Source | : | Intisari.grid.id |
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR