Nationalgeographic.co.id - Pulau reklamasi di Teluk Jakarta kembali mencuat dan menjadi perbincangan sejumlah pihak. Pulau reklamasi itu memang memicu perkara. Sebab, bangunan yang berdiri di pulau reklamasi itu mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Terkait penerbitan izin IMB itu, berbagai pihak melontarkan kritik. Bahkan, tak sedikit pula yang mengingatkan Anies Baswedan agar berkomitmen dengan janji kampanyenya untuk menghentikan reklamasi di Teluk Jakarta.
Lihatlah tudingan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Lembaga non pemerintah ini menilai penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) bagi 932 bangunan di Pulau D reklamasi pantai utara Jakarta sebagai 'bentuk ketidak-konsistenan' Gubernur Jakarta Anies Baswedan terhadap komitmen dan janji kampanyenya untuk menghentikan reklamasi.
"Anies punya kebijakan yang bisa digunakan untuk tidak menerbitkan IMB, tetapi kenapa pilihannya (sebaliknya)?" ungkap Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta, Tubagus Sholeh Ahmadi, seperti dilansir oleh BBC News Indonesia (17/06).
Tuduhan itu sudah lebih dulu ditepis Anies dalam keterangan persnya pekan lalu yang menyatakan bahwa "IMB dan Reklamasi adalah dua hal yang berbeda".
Menurut Anies, "dikeluarkan atau tidak IMB, kegiatan reklamasi telah dihentikan."
Sementara itu, sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta mulai menggulirkan rencana pengajuan hak interpelasi untuk meminta kejelasan Pemprov DKI terkait penerbitan IMB itu.
Baca Juga: Tinggal di Jakarta Meningkatkan Risiko Penyakit Diabetes, Mengapa?
Hingga kini, DPRD belum membahas dua rancangan peraturan daerah (raperda) yang mengatur pembangunan di pulau reklamasi, yaitu raperda tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) pantai utara Jakarta serta raperda tentang rencana tata ruang kawasan strategis (RTRKS) pantai utara Jakarta.
Kedua raperda itu ditarik dari pembahasan oleh Pemprov DKI Jakarta pada Desember 2017 sebagai langkah untuk mengkaji ulang proyek pulau reklamasi.
Berbagai pihak, termasuk lembaga pemerhati lingkungan, mengapresiasi langkah Anies yang berkomitmen menghentikan proyek pulau reklamasi kala itu.
Disebutkan, kedua raperda itulah yang menjadi dasar hukum perancangan pembangunan pulau reklamasi di Teluk Jakarta, yang juga menjadi dasar hukum dikeluarkan atau tidaknya izin mendirikan bangunan bagi pengembang.
Karena tak kunjung rampung, Anies mendasarkan penerbitan IMB pada Peraturan Gubernur Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK) Pulau C, Pulau D dan Pulau E hasil reklamasi.
Baca Juga: Jakarta Menjadi Kota dengan Polusi Udara Terburuk di Asia Tenggara
Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, Saefullah, menyatakan bahwa saat ini pemprov tengah melakukan peninjauan kembali Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) untuk menata kawasan reklamasi.
Ia juga menuturkan bahwa dua raperda reklamasi yang ditarik kembali oleh pemprov menjadi tidak relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan penerbitan IMB.
"(Raperda) RZWP3K itu tidak ada kaitannya. Itu untuk mengatur zonasi pulau-pulau di sana," ujar Saefullah.
Ia juga mengatakan bahwa "(Raperda) RTRKS Pantura ya menjadi tidak ada, tidak ada lagi. Kalau (raperda) RZWP3K itu sudah diajukan, tinggal dibahas".
'Preseden buruk'
Walhi dan DPRD DKI Jakarta mempertanyakan apa yang digambarkan sebagai "langkah senyap" Anies yang menerbitkan IMB bagi 932 bangunan di Pulau D yang kini dinamai Pantai Maju itu.
Walhi menilai langkah itu sebagai "preseden buruk dalam pengambilan kebijakan".
Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta, Tubagus Sholeh Ahmadi, mengkritik pembelaan Anies yang menyatakan bahwa kebijakannya diambil berdasarkan "ketaatan pada prinsip good governance".
"Justru dia sedang mencontohkan bahwa seluruh prosesnya dipaksakan dengan keterlanjuran-keterlanjuran tadi.
Baca Juga: Ingin Membantu Kaum Dhuafa, Masjid di Jakarta Ini Sediakan ATM Beras
"Terlanjur ada reklamasi meskipun dia bangun di atas ruang yang tidak jelas peruntukannya, kemudian diterbitkan IMB-nya karena alasan dia sudah membangun," tutur Tubagus.
Ia meminta pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk berkaca pada pengalaman-pengalaman lalu yang membuat banyak ruang terbuka hijau dan kawasan ekosistem penting di Jakarta terkikis dan beralih fungsi menjadi kawasan komersial dan permukiman, dan berujung pada kerusakan lingkungan yang juga berdampak pada kehidupan penduduk.
"Sampai kapan kita memfasilitasi keterlanjuran-keterlanjuran perilaku bisnis yang buruk di Jakarta?" imbuhnya.
Ia juga tidak sepakat dengan dalih Anies yang mengatakan bahwa IMB dan reklamasi adalah dua hal terpisah. Menurutnya, keduanya justru merupakan satu kesatuan.
"Orang membangun reklamasi karena sudah direncanakan di atasnya akan dibangun apa, kan begitu. Ada kepastiannya, sehingga dia melakukan reklamasi," pungkas Tubagus.
Rencana hak interpelasi di DPRD
Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta, Bestari Barus, mengatakan bahwa sejumlah fraksi tengah membahas secara internal wacana hak interpelasi yang ia gulirkan.
Bestari menilai penting bagi dewan untuk memintai kejelasan "langkah tak terendus" yang diambil Anies di tengah tak kunjung rampungnya revisi draf rancangan peraturan daerah tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) pantai utara Jakarta maupun raperda rencana tata ruang kawasan strategis (RTRKS) pantai utara Jakarta.
"Hanura sudah (sepakat)," ujarnya melalui sambungan telepon. "Ini lagi diobrolin kawan-kawan PPP, tadi PDI Perjuangan akan koordinasi internal dulu."
Baca Juga: Sejarah Banjir di Jakarta, Sudah Terjadi Sejak Zaman Tarumanegara
Hak interpelasi sendiri merupakan salah satu hak yang melekat pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk meminta keterangan pemerintah atas kebijakan yang penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi pertanyaan Bestari, di antaranya "pertama, dasar payung hukum. Kedua, raperda yang belum selesai. Ketiga, uang tambahan kontribusinya berapa yang masuk ke kas daerah?"
Bestari mengaku bahwa ia tidak mempermasalahkan pemanfaatan bangunan di atas pulau reklamasi. Yang ia dan sejumlah rekannya permasalahkan adalah aspek legalitas dan administratif penerbitan IMB itu.
"Kita enggak anti terhadap reklamasi, saya mendukung reklamasi, saya mendukung semuanya. Tapi ketika ada administrasi yang tidak berlangsung dengan baik, maka sebagai dewan, sebagai anggota DPRD kita menggunakan hak kita untuk bertanya."
Seharusnya penerbitan IMB merujuk pada perda zonasi dan tata ruang yang masih digodok Anies, kata Bestari.
"Dasar dari membuat IMB itu adalah peruntukan di atas tanah itu apa? Mana hijau, mana konservasi, mana biru, mana kuning perumahan, iya kan? Itu kan belum ada,"
"Kita enggak mau nanti semuanya seperti itu, sudah jadi dulu semua (bangunannya) baru perda tinggal ngikutin. Kalau kita nanti maunya di situ enggak ada bangunan gimana? Kan harus dibongkar. Tapi itu akan menimbulkan permasalahan baru," tuturnya.
Meski demikian, ia mengaku belum merumuskan rekomendasi seandainya hak interpelasi bergulir di lantai parlemen.
Baca Juga: Jakarta dan Rencana Penggunaan Bus Listrik Bagi Bus Transjakarta
"Nanti kita lihat lagi pandangan-pandangan berbagai pihak, sebaiknya kalau begini bagaimana? Supaya jangan jadi kesalahan yang bertumpuk-tumpuk," imbuh Bestari.
Pada bulan Desember 2017, selain menarik dua draf raperda reklamasi dari pembahasan DPRD, Anies yang ketika itu baru dua bulan menjabat sebagai gubernur Jakarta juga mengirim surat permohonan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN untuk menunda dan membatalkan seluruh HGB semua pihak ketiga Pulau C, D dan G yang telah dikuasai pemprov.
Pulau C dan D merupakan pulau yang dikelola pengembang PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group.
Pada Juni 2018, ia kemudian menyegel bangunan-bangunan yang sudah lebih dulu didirikan tanpa izin di atas Pulau C dan D. Tak lama, Anies lantas mencabut izin pembangunan 13 pulau reklamasi yang belum terbangun.
Saat melakukan penyegelan 7 Juni 2018, seperti dikutip detik.com, Anies berucap, "Nanti kita lihat, karena kita lihat juga sesuai dengan rencana pengembangannya seperti apa."
Pakai Pergub Ahok, LSM sindir Anies Baswedan
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies (RCUS) Elisa Sutanudjaja menyindir Anies Baswedan yang berdalih di belakang Pergub DKI Nomor 206 Tahun 2016 untuk penerbitan izin mendirikan bangunan di pulau reklamasi.
Pergub itu diketahui ditandatangani gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sebagai panduan rancang kota pulau C, pulau D, dan pulau E hasil reklamasi di utara Jakarta. Pergub itu ditetapkan Ahok pada 25 Oktober 2016.
Menurut Elisa, seperti dilansir oleh CNN Indonesia, jika Anies memang mau menghentikan swasta dalam proses pembangunan di pulau reklamasi seharusnya mencabut atau mengubah pergub tersebut, dan menunggu perda baru yang masih akan dibahas dengan DPRD DKI Jakarta.
Baca Juga: Antisipasi Rabies, KPKP DKI Jakarta Laksanakan Sosialisasi dan Vaksin Serentak
"Saya selalu bilang pergub itu harus dibatalin atau diubah. Pokoknya kalau misalnya mau serius bikin Pulau C dan Pulau D untuk kepentingan publik, itu pergubnya dulu harus diubah," kata Elisa saat dihubungi, Jumat (14/6).
"Karena pergub itu (206/2016) yang bisa menjadi dasar bikin untuk HGB dan IMB [di pulau reklamasi]," ucapnya.
Elisa mengatakan jika Anies memang memiliki visi yang berbeda dari Gubernur sebelumnya terkait masalah reklamasi, seharusnya secara tegas harus mencabut dan mengubah pergub tersebut.
Kemudian, Elisa pun menjelaskan janji Anies adalah menjadikan kawasan Pulau Reklamasi tersebut menjadi milik publik, bukan dikuasai oleh swasta, sebagaimana yang terjadi saat ini.
"Nah, kalau saya bilang, kalau dia (Anies) bilang (reklamasi) untuk kepentingan publik itu harus tertuang di Panduan Rencana Tata Ruang kotanya, bukannya malah mengakomodasi panduan rancang kota gubernur sebelumnya," kata dia.
Sebelumnya, kemarin Anies meminta publik untuk membedakan antara penghentian reklamasi dan IMB yang terbit untuk bangunan-bangunan yang sudah berdiri di sana.
Dari jawaban resmi Anies yang diterima lewat Kepala Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta Benny Agus Chandra, menyatakan IMB tersebut bukan soal reklamasi sudah dihentikan atau tidak, tapi soal izin pemanfaatan lahan hasil reklamasi dengan cara mendirikan bangunan.
Ia mengatakan berdasarkan PP Nomor 36 tahun 2005 ketika kawasan yang belum memiliki RTRW dan RDTR, maka pemda dapat memberikan persetujuan pendirian bangunan untuk jangka waktu sementara.
"Pulau C dan D sudah ada di RTRW DKI Jakarta namun belum ada di RDTR DKI Jakarta. Oleh karenanya, gubernur saat itu mengeluarkan Pergub 206 tahun 2016 dengan mendasarkan pada PP tersebut. Jika tidak ada pergub tersebut maka tidak bisa ada kegiatan pembangunan di lahan hasil reklamasi. Suka atau tidak suka atas isi Pergub 206 Tahun 2016, itu adalah fakta hukum yang berlaku dan mengikat," tuturnya.
Sebagai landasan hukum, sambung Anies, Pergub 206/2016 pengembang pun melakukan pembangunan di pulau hasil reklamasi. Jika pergub itu dicabut untuk membongkar bangunan, lanjutnya, kepastian atas hukumnya pun ikut menghilang.
"Bila dilakukan, masyarakat, khususnya dunia usaha akan kehilangan kepercayaan pada pergub dan hukum. Efeknya, pergub yang dikeluarkan sekarang bisa tidak lagi dipercaya, karena pernah ada preseden seperti itu," tutur Anies.
Penulis | : | Lutfi Fauziah |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR