Dalam agenda acara, tamu undangan diharapkan datang di gedung pesta pada pukul 21.00. Sementara itu Boen Khe dijemput pukul 21.30 bersama enam arak-akan kereta kuda yang berisi pejabat kota dan keluarga dekat. Setibanya di gedung pesta, Boen Khe dan rombongan disambut meriah dengan dentuman semarak kembang api dan musik.
Setelah prosesi acara penghormatan yang dihadiri Residen Surabaya, mereka memulai santap malam pada pukul 23.30. Sederet menu ala barat pun tersaji: Caisses et Risolles, Boeuf Pressé dengan saus Remoulade, Croquettes de Pommes de Terre dengan kacang polong, Ris de Veau dengan asparagus, Charlotte Russe, dan Bouillon. Tepat tengah malam, tibalah acara santai dan minum bersama. Acara puncaknya adalah pertunjukan kembang api.
Ayah dari Boen Khe, atau kakek Toan Ing, adalah The Goan Tjing, seorang kapitan (1826-1835) dan mayor (1835-1838) yang dimakamkan di daerah Embong Malang, Surabaya. Saudara lelaki sang kakek juga seorang opsir Cina, yakni The Goan Siang.
Goan Tjing memiliki tujuh anak: The Boen Hie, The Boen Khe (ayah Toan Ing), The Boen King, The Boen Kong, The Boen Tiong, The Boen Wan, dan The Boen Tong. Tiga pertama yang disebut di atas adalah opsir Cina pada pertengahan abad ke-19.
Catatan Jurnalis Arnold Wright
Arnold Wright (1858–1941), seorang wartawan asal Inggris, berkesempatan mengabarkan tentang sosok Mayor The Toan Ing dan leluhurnya dalam buku bertajuk Twentieth Century Impressions of Netherlands India, yang terbit di London pada 1909.
"Mayor The Toan Ing, kepala komunitas Cina di Sourabaya, adalah wakil dari sebuah keluarga yang telah memegang posisi resmi tinggi selama beberapa tahun terakhir,” demikian tulis Wright. Dia menambahkan bahwa kakek dari Toan Ing telah menjadi dasar kemakmuran materi keluarga melalui pendirian pabrik gula Tjandi di Sidoarjo, Jawa Timur. Pabrik pertama yang dibangun sang kakek, The Goan Tjing, adalah Naamloze Vennootschap Suikerfabriek Tjandi, yang “telah membuktikan sumber kekayaan yang berkelanjutan.” Namun demikian, kemilau pabrik yang dibangun pada 1832 itu berpindah tangan pada 1911, dua tahun setelah tulisan Wright terbit.
“Mayor The Toan Ing merupakan direktur Hokkien Kong Tik Soe, sebuah perkumpulan masyarakat yang tujuannya adalah untuk mengatur ketaatan budaya orang Cina […],” ungkap Wright. Dia juga “merupakan Komisaris Kota Sourabaya, anggota Masyarakat untuk Pencegahan Kekejaman terhadap Satwa, dan seorang freemason."
Saya bertanya tentang sosok The Toan Ing kepada Agni Malagina, pemerhati budaya Cina dan pengajar Program Studi Cina di FIB Universitas Indonesia. “Ia mahsyur sebagai pemilik pabrik penggilingan tebu terbesar di Jawa Timur alias Raja Gula-nya Jawa Timur,” ujarnya, “dan pemimpin 'Freemason Hokkian' Surabaya, Hokkien Kong Tik Soe.”
Perkumpulan Hokkien Kong Tik Soe atau Fujian Gongde Ci merupakan institusi yang bertujuan untuk mempromosikan kembali budaya Cina dan membangkitkan kembali adat tradisional Cina, yaitu upacara pernikahan dan pemakaman. Kelak, demikian ujar Agni, perkumpulan ini menjadi cikal bakal Tionghoa Hwee Koan atau Zhong Hua Hui Guan, yang didirikan pada 1900 di Batavia. "Semangatnya, membangkitkan kembali budya tradisional Cina dan ajaran Konfusianisme."
Baca juga: Roemah Piatoe Ati Soetji, Filantropi Istri Mayor Cina di Betawi
Pendiri Klenteng Kapasan Berdewa Kesusastraan
Toan Ing dikenal juga sebagai salah satu pendiri Klenteng Kapasan, yang berdewa Wen Chang, Dewa Kesusastraan. Pada 1884, Ia telah menyediakan dana dan lahan sehingga klenteng itu bisa digunakan.
Pada 1899, klenteng ini diubah menjadi klenteng yang didedikasikan untuk Konfusius, seiring dengan gerakan kebangkitan kembali budaya Cina. Pelopornya adalah kaum jentri dan pedagang Surabaya. Lebih jauh Agni menambahkan, “Para pendiri klenteng Konfusianis dan gerakan ini dianggap merupakan pelopor gerakan kebangkitan konfusianisme di Asia Tenggara, yang kemudian memengaruhi kaum masyarakat Cina di Singapura dan Selat Malaya.”
Pada awal abad ke-20, Klenteng Boen Bio mengalami pemugaran yang selesai pada 1906. Acara peresmiannya digelar secara besar-besaran, yang dipimpin The Toan Ing. “Berita acara peresmian ini masuk dalam catatan sejarah Dinasti Qing di Beijing, bahkan Kaisar Guangxu memberi hadiah sebuah panel kayu yang memuja Konfusius, yang kemudian dipasang di Klenteng Kapasan,” ungkap Agni. “The Toan Ing dan rekan-rekannya memiliki peran penting dalam gerakan membangkitkan kembali ajaran Konfusianis di Jawa dan juga Asia Tenggara.”
Bagi saya, bermalam di penginapan eksotik berarsitektur hindia ini mampu membangkitkan keingintahuan dan narasi tentang siapa pemilik sejatinya. Sekurang-kurangnya, apabila bermalam di GANEFO, kita turut berpartisipasi dalam pelestarian bangunan bersejarah bagi Kota Surabaya. Saya mengapresiasi upaya pemilik rumah penginapan ini. Kita bisa membayangkan, apabila sedikit tamu yang bermalam di sini, bagaimana bisnis rumah penginapan ini bisa bertahan? Kita tidak berharap jejak kediaman Mayor The Toan Ing ini berpindah tangan lagi kepada orang yang tidak memahami betapa pentingnya sebuah citarasa sejarah dalam sebuah kota.
Pendar lampu beranda rumah penginapan ini seolah menyingkap narasi denyut Kota Surabaya. Sampai hari ini pemiliknya masih keluarga Tan, yakni anak laki-laki Tan Siong Chiu, yang bernama Tan Tjhoen Lin atau Frenky Tanoyo. Kabar duka pada April silam, janda mendiang Tan Siong Chiu yang bernama Oei Tjoei Hie, wafat dalam usia 106 tahun di Surabaya.
Sebelum saya meninggalkan rumah penginapan ini saya bertanya kepada, salah satu pegawai administrasinya. Apakah rumah tua ini sudah masuk dalam daftar bangunan cagar budaya di Surabaya?
Ia menatap saya penuh tanya, lalu hanya menggelengkan kepala.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR