Nationalgeographic.co.id— Kota Palembang memiliki sederet julukan. Lantaran memiliki 117 sungai, orang-orang Belanda menjuluki Palembang sebagai “De Stad der Twintig Eilanden”—Kota Dua Puluh Pulau. Julukan lainnya, “Indische Venetie” (Venesia dari Hindia) dan “De Stad des Vredes” (Kota Damai)—tampaknya berasal dari jargon Palembang Darussalam.
Sungai Musi merupakan denyut nadi awal peradaban kota ini. Benteng kota pertamanya bernama Kuto Gawang (1522-1659), yang terletak antara Plaju dan Pulo Kemaro. Sistem pertahanannya didukung oleh empat benteng, yang semuanya di tepian Musi: Bamagangan, Tambakbaya , Martapura, dan Pulau Kembaro.
Baca juga: Peristirahatan Terakhir Bagi Sang Kapitan Cina Terakhir di Palembang
Setelah dihancurkan VOC, permukiman berpindah ke arah hulu. Lokasinya di antara Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk, yang dikenal sebagai Keraton Beringin Janggut (1662-1724).
Perbentengan berikutnya di bangun lebih ke hulu, antara Sungai Tengkuruk dan Sungai Sekanak. Di kawasan terakhir itulah kelak muncul benteng kembar.
Dua kubu pertahanan itu ibarat kakak dan adik yang berdiri di tepian Sungai Musi. Satu kubu didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada 1737, kelak benteng keraton ini dikenal dengan nama “Kuto Lama”. Sementara, cucunya yang bernama Sultan Muhammad Bahauddin, mulai membangun benteng keraton yang kelak disebut sebagai “Kuto Besak” tepat disebelahnya pada 1780. Luas Kuto Lama kira-kira setengah dari Kuto Besak. Mereka hanya dipisahkan oleh selajur jalan menuju masjid lama—Masjid Agung Palembang.
William Marsden, seorang pegawai East India Company, mencatat kesannya tentang Kuto Lama. Saat dia berkunjung tampaknya Kuto Besak belum rampung.
“Istana itu luas, tinggi, dan memiliki banyak ornamen di dinding luar,” demikian tulis Marsden dalam History of Sumatra. “Di sebelah tembok istana ini ada dua buah benteng yang kuat berbentuk persegi.”
Kemudian, Marsden melanjutkan, “Di antara kedua benteng terdapat lapangan. Di ujung lapangan terdapat balairung, tempat sultan menerima tetamu resmi. Balairung itu berupa gedung biasa yang terkadang dipakai untuk gudang.”
William Thorn, seorang serdadu Kerajaan Inggris, membuat sketsa peta jantung Kota Palembang pada 1812: Denah detail Keraton Kesultanan Palembang. Thorn melengkapi sketsa denah itu dengan empat bastion dan fungsi berbagai bangunan di dalamnya—juga posisi kampung Cina. Pertahanan itu diperkuat dengan 242 moncong meriam.
“Kota itu dilintasi beberapa sungai kecil yang membentuk sejumlah pulau-pulau, sekitar duapuluhan atau tigapuluhan,” ungkap Thorn. “Sehingga lokasi itu dijuluki sebagai ‘Kota Dua Puluh Pulau.’”
Thorn masih menyaksikan dua benteng kembar tadi—meskipun dia tidak menyebut dengan istilah lokal. Dia mencatat, “Rumah Sultan dan Pangeran Ratu berada di area persegi, dikelilingi tembok bata yang tebal dan tinggi. Tiap istana berisi bangunan-bangunan paviliun yang terpisah, memiliki sebagian lahan untuk pohon buah-buahan dan tanaman hias.”
Baca juga: Tatkala Raffles Menjarah Keraton Yogyakarta
Kapan Benteng Kuto Lama lenyap?
Djohan Hanafiah, seorang warga Palembang yang menulis buku Kuto Besak, Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan; mengungkapkan tentang perseteruan dua benteng kembar Palembang.
Pada akhirnya kedua keraton ini bagaikan air dan minyak, demikian ungkap Djohan. “Pada saat Kuto Besak memancangkan bendera Kesultanan Palembang,” tulisnya, “maka Kuto Lama mengibarkan bendera Inggris.”
Perseteruan keluarga itu masih berlanjut tatkala serdadu Hindia Belanda di bawah komando Hendrik Merkus Baron de Kock menyerang pada 1821. Ekspedisi militer itu diakhiri dengan tertangkapnya Sultan Mahmud Badaruddin II dan dia diasingkan ke Ternate.
Sang adik yang berbadan lebih besar, Benteng Kuto Besak, kini digunakan sebagai Kantor Kesehatan Komando Daerah Militer II/Sriwijaya, rumah sakit, dan permukiman warga nan padat. Pada awal 2014, Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan berencana merevitalisasi penanda peradaban ini untuk Pusat Kebudayaan Palembang.
Semoga benteng ini menemukan kejayaannya kembali sebagai pencerah sejarah dan budaya di kota yang juga pernah bergelar .
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR