Nationalgeographic.co.id - "Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang baik itu memiliki konsep control landfill, sampah yang datang harus di tutup mulai jangka 3 sampai 7 hari maksimal, dan tidak bau. Jelas Agus Supriyanto, Kepala Seksi Bina Retail, Direktorat Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Nationalgeographic.co.id.
Lalu seberapa banyak TPA yang tidak mengoarkan bau menyengat?
Surabaya dan Jakarta akhir-akhir ini menjadi sorotan media tentang cara mereka tangani sampah-sampahnya.
Karena kedua kota ini adalah dua kota metropolitan besar di Pulau Jawa. Pasalnya persoalan sampah menjadi sangat serius karena setiap individu menghasilkan sampah setiap harinya.
Tentu saja jika pemerintah daerah tidak menangani sampah dengan baik dan benar, kita akan tahu apa dampaknya pada lingkungan.
Baca Juga: Ternyata Ini Penyebab Sampah Impor Terus Berdatangan Silih Berganti
Gelontoran dana juga tidak sedikit tentunya. Melansir dari Kompas.com, Jakarta keluarkan dana untuk kelola sampah sebesar Rp 3,7 triliun.
Jumlah dana ini jelas tidak sedikit, apalagi jika dibandingkan dengan Surabaya yang hanya 30 milyar.
Persoalan sampah Jakarta dan Surabaya ini bermula dari kunjungan kerja anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta, Bestari Barus ke Surabaya.
Saat rapat bersama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani. Bestari menyampaikan anggaran pengelolaan sampah di Jakarta menghabiskan dana hingga Rp 3,7 triliun. Sontak Bu Risma kaget dengan jumlah itu, karena Surabaya hanya gunakan 30 milyar untuk pengelolaan sampah.
Video tanggapan Anis dan Risma terkait persoalan sampahpun viral di media.
Melalui sebuah wawancara ekslusif Nationalgeographic.co.id dengan Agus Supriyanto pada sebuah acara comunnity gathering, Jumat (26/7/2019) bertajuk “Bersama Ciptakan Kebaikan untuk Bumi” yang diprakarsai oleh National Geographic Indonesia dan Danone-Aqua, dia menjelaskan bagaimana kriteria TPA yang ideal.
Baca Juga: Membakar Sampah Dinilai Lebih Praktis, Tapi Ternyata Lebih Berbahaya
"Syarat di TPA tidak bau itu sampahnya harus sedikit, saat ini kami selalu mendorong pemerintah daerah untuk melakukan upaya pengurangan sampah, bukan penanganan sampah." Jelasnya.
Lantas, seberapa besar jumlah sampah yang masuk ke TPA Bantar Gebang dan TPA Benowo?
Jumlah Sampah
DKI Jakarta dengan jumlah penduduk sebanyak 10,4 juta jiwa orang, memproduksi sampah sebesar 7.500 ton setiap harinya. Dari data yang dimiliki Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sebanyak 60 persen sampah itu diambil dari permukiman, 29 persen dari kawasan komersial, dan 11 persen dari fasilitas umum.
Sementara itu, Surabaya memiliki 3,07 juta penduduk dengan jumlah produksi sampah seberat 1.300 ton dalam satu hari. Padahal dengan jumlah penduduk sebesar itu, total sampah berdasarkan rasio seharusnya bisa mencapai 2.600 ton per hari.
Baca Juga: Bersama Ciptakan Kebaikan Untuk Bumi, Kolaborasi untuk Atasi Masalah Sampah di Indonesia
Menurut Sekretaris Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Kota Surabaya, Aditya Wasita, bank sampah dan rumah kompos di Surabaya berperan sangat penting dalam menekan jumlah sampah di kota Surabaya.
Pengelolaan TPA Ideal
"Jika sampah yang masuk ke TPA itu tidak banyak, maka kualitas pengelolaan sampah di TPA bisa dicapai." Tambah Agus Supriyanto, yang kerap di sapa Puyi.
TPA yang baik seharusnya hanya mengelola sampah residu. Sampah yang ada di kota, sudah seharusnya selesai di kota. Maksudnya, sampah ini sudah lebih dulu dipilah sebelum berakhir ke TPA.
Sehingga, sampah yang masuk ke TPA adalah pemilahan sampah akhir yang sudah tidak bisa diolah lagi.
Baca Juga: Sekolah di India, Bayar Biaya Sekolah Hanya dengan Sampah Plastik
"Ini Harapan kami, Kementerian Lingkungan Hidup yang saat ini terus dikejar." Ujarnya.
Ternyata TPA yang sudah melakukan pengelolaan sampah dengan baik sekaligus tidak berbau, salah satunya ada di Surabaya. Tepatnya TPA Benowo.
Bahkan TPA Benowo sudah memiliki pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dan pengolahan air lindi menjadi air bersih.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Mahmud Zulfikar |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR