Nationalgeographic.co.id— "Di negeri Shihlifoshih, kita melihat bahwa bayang-bayang welacakra [jam matahari] tidak menjadi panjang, atau menjadi pendek pada pertengahan bulan delapan,” demikian tulis I-Tsing dalam catatannya.
“Pada tengah hari, tak tampak bayang-bayang orang yang berdiri di bawah matahari.” I-Tsing pun menunjukkan letak Shihlifoshih berada di garis lintang yang sama dengan posisi matahari saat itu. “Matahari tepat di atas kepala dua kali satu tahun. Kalau matahari di sebelah selatan, bayang-bayang membujur ke utara; panjangnya lebih kurang dua atau tiga ch’ih. Kalau matahari di sebelah utara, bayang-bayangnya sama, tetapi jatuh ke selatan.”
I-Tsing merupakan pendeta Buddha asal Cina. Dia singgah ke Shihlifoshih antara 671 dan 695, diselingi perjalanan ke India dan bermukim di Nalanda sekitar 672 hingga 685. Dia diperkirakan menulis kisahnya pada periode 690 hingga 692.
Di manakah Shihlifoshih itu? Persoalannya, kabar dari Cina tentang toponimi di lautan sebelah selatan kadang membingung ahli sejarah. Pasalnya, nama tempat dicatat dalam bahasa Cina berdasar indra pendengaran sang penulis, dan penentuan lokasinya berdasarkan jam matahari.
Baca juga: Kota Cina, Bandar Penting Ketika Sriwijaya Surut. Di Manakah Itu?
Baru pada awal abad ke-20, atau sekitar 1.200 tahun setelah I-Tsing selesai mencatat perjalanannya, secuil misteri terpecahkan. Shihlifoshih diduga kuat berkaitan dengan lokasi sebuah negeri bernama Sriwijaya. Perdebatan panjang di mana lokasi Sriwijaya telah mengerucut pada tiga kawasan di sekitar khatulistiwa Sumatra, yang juga diduga sebagai tempat bermukim I-Tsing.
Ketiga kawasan tersebut adalah Bukit Siguntang di Palembang, Candi Muarajambi di Jambi, dan Candi Muara Takus di Riau. Jika tempat tinggal I-Tsing di Shihlifoshih dapat diketahui, tersingkaplah teka-teki lokasi Ibu Kota Sriwijaya. “Upaya saya mengulangi pengamatan astronomis I-Tsing berhubungan erat dengan upaya mengidentifikasi lokasi I-Tsing berdiam,” tulis Hudaya Kandahjaya dalam surelnya kepada The Society of Muarojambi Temple (The SOMT) pada pertengahan 2011.
Hudaya merupakan peneliti di Numata Center yang berkantor tak jauh dari University of Berkeley, California, Amerika Serikat. Lembaga tersebut berkiprah dalam penelitian dan alih bahasa naskah Buddha dalam kitab Tripitaka. Dia sendiri lahir dan besar di Bogor, Jawa Barat. Sementara, The SOMT adalah komunitas peduli terhadap kelestarian Candi Muarajambi, yang dimotori secara swadaya oleh warga sekitar situs warisan leluhur Sumatra itu.
Saat kunjungan pertamanya ke Muarajambi, Hudaya terkesan atas melimpahnya temuan arkeologis seluas hampir tiga ribu hektare tersebut, ketimbang temuan di Riau dan Palembang. Kenyataan ini mendorongnya untuk menghubungkan dengan tempat I-Tsing bermukim. Namun, dia tak berpuas diri hanya dengan kesimpulan itu.
Hudaya memprakarsai rekonstruksi pengamatan astronomis dengan bantuan tenaga pengamat lapangan dari The SOMT. Pengamatan pertama berlokasi di kompleks Muara Takus yang dilakukan tengah hari pada tanggal 15 bulan kedelapan kalender Cina (12 September 2011)—waktu yang tepat seperti kisah I-Tsing. Hasilnya, mereka masih menjumpai bayangan walaupun lokasinya paling dekat dengan khatulistiwa.
Lokasi kedua adalah kompleks Muarajambi. Namun, pengamatan astronomis di situs ini dilakukan tepat pada saat matahari di atas Muarajambi, yaitu pada tanggal 1 bulan kesembilan dalam kalender Cina (27 September 2011). The SOMT mengirimkan laporannya lewat surel—baik teks maupun visual—kepada Hudaya. “Telah terjadi bahwa bayangan dari pipa paralon yang digunakan sebagai pengukur, hilang bayangannya,” demikian tulis The SOMT.
Hudaya membalas surel mereka, “Ini semakin mendekatkan kita pada kesimpulan bahwa Muarajambi adalah lokasi I-Tsing tinggal.” Kemudian saya berdiskusi dengan Hudaya tentang temuan mereka lewat surel. Saya melayangkan kepadanya sebuah pernyataan bahwa “ketiadaan bayangan di Muarajambi yang terjadi setelah pertengahan bulan kedelapan merupakan suatu kenampakan berbeda dari catatan I-Tsing.”
“Kekeliruan muncul dalam banyak tulisan cendekiawan sebelum ini yang menyinggung soal pengamatan astronomis I-Tsing,” balas Hudaya mengoreksi pendapat saya. Menurutnya terdapat aspek astronomis dalam catatan pendeta Buddha itu yang tidak disimak semestinya.
“Peristiwa yang dialami I-Tsing bersifat khas.”
Artinya, pertengahan bulan kedelapan (atau bulan kedua) penanggalan Cina yang bersamaan dengan zenit di belahan Bumi selatan tidak terjadi setiap tahun, ungkapnya. “Saat yang khas itu terjadi pada tahun 690, pada masa I-Tsing menulis catatannya.”
Peristiwa langka itulah yang dibuktikan Hudaya dengan menghitung ulang kejadian astronomis dan periode penulisan I-Tsing. “Ini merupakan hasil terpenting dari pembuktian matematis cum astronomis terkait pengamatan dan catatan I-Tsing,” ungkapnya. “Pembuktian ini sekaligus mengeliminasi Muara Takus maupun Palembang sebagai calon lokasi kediaman I-Tsing.”
Namun demikian, Hudaya menambahkan bahwa pengamatannya masih belum sempurna. Dia juga masih berencana untuk membandingkan pengamatan serupa di Bukit Siguntang, sebuah situs lain yang diduga menjadi pusat keagaamaan pada masa Sriwijaya awal di Palembang. “Saya sendiri belum sempat merampungkan tulisan lengkap mengenai topik ini,” ungkapnya.
Jika Hudaya mencari lokasi I-Tsing bermukim dengan menentukan situs arkeologis kemudian baru mencocokkannya dengan tinggi dan posisi matahari dalam catatan pendeta itu, Eadhiey Laksito Hapsoro melakukan hal sebaliknya.
Suatu malam di Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Saya menemui Eadhiey, seorang astro-arkeolog, yang pernah melakukan penghitungan astronomis berdasarkan tinggi dan posisi matahari untuk mencari tempat tinggal I-Tsing. Penelitian tersebut pernah dipaparkan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi 1989. Dia berpedoman pada sepuluh hari pertengahan bulan kedelapan kalender Cina dan posisi deklinasi matahari pada 671 sampai dengan 695.
Eadhiey mendapat dua simpulan. Pertama, lewat pendekatan titik balik matahari (solstice), lokasi I-Tsing diduga di sekitar Upang Sungsang di utara Palembang. Kedua, jika menggunakan metode pendekatan musim (posisi matahari terhadap khatulistiwa), Eadhiey memperoleh lokasi di sekitar Kuala Tungkal, kota kecil di muara Sungai Pangabuan, Jambi.
Namun, inti yang sejatinya tersirat dari penelitiannya adalah “Bahwa penggunaan berita I-Tsing tidak serta merta bisa menentukan sebuah lokasi,” kata Eadhiey.
Tampaknya tidak ada bayangan di tengah hari adalah sesuatu yang spesial bagi I-Tsing, demikian hemat Eadhiey. Sedangkan di Indonesia hampir tidak dijumpai bayangan di setiap tengah harinya. Itulah sebabnya gnomon harian (instrumen kuno dalam penghitungan waktu harian) tidak populer di Indonesia.“Saat siang, bayangan di khatulistiwa hampir tidak ada, kecuali hanya bayangan arah timur-barat,” katanya.
Baca juga: Palembang Pernah Memiliki Dua Benteng Kembar. Di Manakah Itu?
Lalu, saya bertanya kepada Eadhiey, apakah berarti catatan I-Tsing itu absurd? “Catatannya benar soal gnomon,” jawabnya. “Yang menjadi persoalan adalah kapan itu ditulis.” Tanpa tahun dan tanggal yang jitu, sulit untuk menentukan secara pasti lokasi I-Tsing. Hal lainnya, pencarian lokasi berdasar gnomon harus mengetahui dengan tepat dan benar: tinggi benda, panjang bayangan, serta posisi matahari saat itu.
Hingga kini Eadhiey pun masih kesulitan untuk mengonversikan kalender Cina ke Masehi secara eksak. Dia berharap bahwa ada upaya dari peneliti lain yang melakukan kilas balik perhitungan tanggal dan tahun secara saksama saat I-Tsing kehilangan bayang-bayangnya.
“Gerakan matahari tidak pernah sama persis dan akan kembali ke posisi yang sama—eksak—dalam 481 tahun,” kata Eadhiey. Jika semuanya ditentukan secara eksak, pasti pengamatan gnomon kelak menjawab misteri di sebelah mana I-Tsing bermukim ketika di Sriwijaya. “Itu tidak akan meragukan karena siklusnya sudah pasti.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR