Nationalgeographic.co.id - Industri pariwisata global bergerak cepat dalam satu dekade terakhir. Data dari Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) menunjukkan adanya peningkatan jumlah perjalanan internasional.
Pertumbuhan pariwisata turut pula dirasakan oleh Indonesia. Jumlah wisatawan mancanegara di Indonesia tercatat meningkat sebanyak 14% sejak 2009.
Data UNWTO juga mencatat penerimaan pendapatan Indonesia dari sektor pariwisata meningkat dari 13.1 miliar dolar Amerika Serikat (AS) di tahun 2017 menjadi 14.1 miliar dolar AS di 2018.
Namun di tengah hingar-bingar kesuksesan industri pariwisata, muncul cerita penolakan terhadap kegiatan pariwisata berlebihan atau overtourism yang membawa dampak negatif pada daerah tujuan wisata, seperti sampah dan meningkatnya biaya hidup yang merugikan penduduk lokal.
Baca Juga: Menyaksikan Cahaya Pagi Berbentuk Hati di Gua Kameiwa Jepang
Penolakan sudah ini terjadi di beberapa negara di Eropa dan Asia. Di Indonesia, penolakan masyarakat terhadap pembangunan dan peningkatan industri pariwisata yang agresif juga terjadi, seperti di Flores, Nusa Tenggara Barat dan Bali.
Kabar baiknya, ada beberapa tempat yang berhasil menghindari overtourism seperti Bhutan dan sebuah desa wisata di Yogyakarta, namun tidak mengurangi pendapatan mereka dari sektor ini.
Pemerintah Indonesia bisa belajar dari kesuksesan mereka.
A.M. O'Reilly, peneliti pariwisata dari The University of the West Indies di Jamaika, menjelaskan bahwa daya dukung atau kapasitas pariwisata dapat didefinisikan sebagai jumlah maksimum wisatawan yang dapat ditampung di sebuah daerah wisata.
Dampaknya bisa berupa perubahan gaya hidup, sosial, dan ekonomi yang cenderung merugikan masyarakat lokal.
Lebih dari tiga dekade lalu, O'Reilly memprediksi overtourism akan terjadi terutama di negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada industri pariwisata.
Kenyataannya, fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang saja. Di Barcelona di Spanyol, Venice di Italia, dan beberapa kota lain di Eropa, pariwisata mulai mengusik dan mendapatkan penolakan dari masyarakat lokal.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR