Jepang – salah satu negara dengan pertumbuhan pariwisata tercepat di dunia – juga turut mengalami.
Pada 2008, Jepang memiliki target mendatangkan 20 juta wisatawan internasional pada tahun 2020. Hingga tahun 2017 lalu, Jepang berhasil melampaui target dengan total 28 juta wisatawan internasional.
Masalahnya, tidak semua warga Jepang mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan pariwisata. Masyarakat lokal yang masih sangat tradisional merasa wisatawan adalah polusi di negaranya.
Di Indonesia, penolakan terhadap pembangunan pariwisata yang berlebihan terjadi di Flores. Di sana, warga menolak pembangunan sarana wisata swasta oleh investor luar di area Taman Nasional Komodo yang akan mengganggu kelestarian komodo dan meminggirkan penduduk asli.
Di Bali warga menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Reklamasi Teluk Benoa dianggap masyarakat hanyalah dalih pemerintah untuk mempermudah investasi di lahan reklamasi tersebut.
Sebagian masyarakat Bali menginginkan Tanjung Benoa tetap menjadi daerah konservasi untuk menyeimbangkan pembangunan yang masif di Bali bagian selatan.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghindari meledaknya bom waktu ini di Indonesia.
Bhutan misalnya memiliki dengan kebijakan “pariwisata dengan volume rendah dan hasil tinggi”.
Wisatawan yang mengunjungi Bhutan diwajibkan menggunakan biro perjalanan dan wisatawan dikenai biaya minimum 200 dolar As (sekitar Rp 2,8 juta) per malam – bahkan di bulan-bulan tertentu bisa lebih tinggi.
Penggunaan biro perjalanan berhasil mengatur wisatawan individual dan dengan diterapkannya kebijakan “paket minimum harian”, Bhutan berhasil memaksimalkan pendapatan dari sektor pariwisata.
Kebijakan ini dianggap cukup berhasil dalam mengelola pariwisata, walau jumlah kunjungan rendah, pendapatan yang dihasilkan justru meningkat, ditambah pengalaman yang dirasakan wisatawan menjadi lebih berkualitas.
Meski dianggap sebagai negara yang “mahal”, Bhutan berhasil meminimalkan dampak negatif pariwisata dan tetap menjadi magnet bagi wisatawan global.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR