Nationalgeographic.co.id - Mantan presiden Indonesia dan insinyur terkemuka Bacharuddin Jusuf Habibie atau BJ Habibie yang merupakan pionir industri pesawat terbang negara ini meninggal pada usia 83 tahun di Jakarta pada Rabu (11/11).
Sang ilmuwan menimba ilmu di Belanda dan Jerman sebelum bekerja untuk perusahaan dirgantara Jerman Messerschmitt-Bölkow-Blohm. Sampai akhirnya, presiden kedua Indonesia, Suharto, memintanya kembali ke Indonesia untuk mendirikan perusahaan pesawat terbang pertama di negara ini, Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) pada 1976.
Perusahaan milik negara itu tumbuh menjadi pemasok bagi industri pesawat terbang kelas dunia, seperti Boeing, Airbus, General Dynamics, dan Fokker.
Pak Habibie menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Indonesia pada 1978.
Selama menjabat, ia dikenal karena terobosan dan pemikirannya yang maju dalam mengadopsi riset dan teknologi untuk keperluan industri.
Ia mengubah kebijakan pengembangan industri Indonesia dari yang didasari pertimbangan ekonomi menjadi fokus pada teknologi tinggi.
Sebelum Habibie menjabat Menristek, Indonesia mengembangkan industri berdasarkan perhitungan ekonomi yang didasarkan pada perhitungan efisiensi dan keuntungan semata.
Baca Juga: Garlic 2.0, Kucing Kloning Pertama di Tiongkok
Di bawah Habibie, pemerintah lebih fokus pada pengembangan industri padat karya yang berbasis sumber daya. Ia memperkenalkan pentingnya mengembangkan industri strategis dengan menggunakan teknologi yang lebih tinggi, seperti pesawat terbang, kapal, peralatan komunikasi, dan senjata. Ia percaya, meski diperlukan biaya tinggi dalam pengembangan industri ini, pada akhirnya sektor tersebut itu akan membawa manfaat ekonomi.
Habibie juga menerapkan kebijakan pemberian sejumlah subsidi untuk mengembangkan industri strategis ini, termasuk industri pesawat terbang. Misalnya, dia memberikan lahan gratis kepada IPTN. Dia juga membantu penjualan produk IPTN ke entitas lain milik negara, seperti maskapai Merpati dan Pelita Air.
Salah satu pendekatannya yang berani adalah memperkenalkan rancangan manufaktur progresif untuk mengembangkan industri strategis. Pengembangan teknologi biasanya diawali dengan riset dasar dan berakhir dengan teknologi canggih. Pada rancangan manufaktur progresifnya, Habibie mengubah urutan, dimulai dengan menguasai teknologi canggih - dengan alih teknologi melalui produksi berlisensi - dan berakhir dengan riset dasar.
Argumennya adalah bahwa Indonesia tidak memiliki pengetahuan dan sumber daya untuk mengembangkan industri jika mereka memulai dari penelitian dasar.
Pendekatan ini terbukti efektif untuk IPTN. Mayoritas pesawat IPTN berasal dari model lain, yang lisensinya telah dibeli. Ini termasuk helikopter pesawat helikopter NBO 105 yang berasal dari model helikopter Bölkow Bo 105 Jerman, dan pesawat angkut sedang NC 212 yang berasal model pesawat CASA C-212 Aviocar dari Spanyol.
Kecintaan Pak Habibie pada pesawat dimulai ketika ia masih kecil. Cintanya tidak pernah pudar, bahkan ketika terjadi krisis keuangan dan menjabat sebagai presiden pada 1998-1999.
Krisis keuangan 1997 melukai bisnis IPTN. Krisis ini juga memicu gejolak politik, menyebabkan Suharto - memerintah selama lebih dari 30 tahun - lengser dari jabatannya.
Habibie yang saat itu adalah Wakil Presiden- mendampingi Suharto, menjadi penggantinya. Ia menjabat selama kurang dari setahun. Meski demikian, Habibie dikenal atas perannya dalam mengantar Indonesia ke era demokrasi di kalangan aktivis hak asasi manusia.
Bahkan selama karier politik yang singkat ini, ia masih seorang insinyur sejati. Banyak orang berkata, selama ia menjadi birokrat, Pak Habibie selalu menyelesaikan masalah dengan pendekatan seorang insinyur. Ia selalu menganalisis masalah dari akarnya sebelum menemukan solusi.
Setelah tidak lagi menjadi pejabat, ia tetap berkomitmen untuk mengembangkan industri pesawat terbang Indonesia.
Baca Juga: Wanita Berusia 74 Tahun Lahirkan Anak Kembar, Ini Penjelasan Ilmiahnya
Pada 2012, ia mendirikan perusahaan pesawat terbang baru, Regio Aviasi Industri (RAI). Saat ini RAI sedang mengembangkan pesawat R-80, sebuah pesawat angkut regional berkapasitas 80 kursi. Sekitar 155 pesawat R-80 telah dipesan oleh maskapai penerbangan lokal. Prototipe ini ditargetkan untuk uji terbang pada 2022.
Sebagai wujud rasa komitmennya pada RAI, Habibie mengatakan kepada saya dalam sebuah pertemuan tahun lalu bahwa ia akan menggunakan penghasilan dari film yang didasarkan pada kisah hidupnya untuk pengembangan R-80.
Kisah cintanya dengan mendiang istrinya, Hasri Ainun Besari, telah menjadi dua film blockbuster di sinema Indonesia - Habibie & Ainun (2012) dan Rudy Habibie (2016). Film berikutnya , Habibie & Ainun 3, dijadwalkan rilis pada Desember tahun ini.
Mari kita berdoa semoga jiwa Pak Habibie dan Bu Ainun beristirahat dengan tenang, serta mimpinya untuk industri pesawat terbang Indonesia digdaya menjadi kenyataan.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR