Nationalgeographic.co.id - Saking banyaknya kejahatan yang dilakukan Peter Kürten, para dokter sampai harus membedah kepala pria tersebut untuk mengetahui apa yang mendorong perilaku haus darahnya.
Namun, mereka tidak menemukan kejanggalan pada otak Peter Kürten. Peneliti tidak dapat menjelaskan mengapa pria yang memiliki julukan ‘Vampir dari Dusseldorf’ ini bisa dengan brutal membunuh sembilan orang dan meminum darah mereka.
Pria kelahiran 26 Mei 1883 itu mengaku telah melakukan 70 jenis kejahatan – termasuk memerkosa, membunuh, serta membakar wanita dan anak-anak perempuan.
Baca Juga: Antara Stres dan Depresi, Bagaimana Cara Kita Membedakannya?
Kürten menyatakan bahwa ia mendapat kesenangan seksual yang kuat dari darah dan kematian. Kürten akan menggertak atau menikam korbannya hingga mencapai orgasme.
Pembunuhan pertamanya dilakukan pada anak perempuan berusia sembilan tahun, Christine Klein, pada 25 Mei 1913.
Saat sedang merampok sebuah kedai di kota Mülheim am Rhein, Jerman, Kürten melihat Klein yang tertidur di kasurnya. Tanpa pikir panjang, ia pun mencekik dan mengiris leher Klein dengan pisau lipat.
Keesokan harinya, Kürten kembali ke kedai untuk mendengarkan kemarahan orang-orang terhadap pembunuhan keji tersebut. Ia bahkan mengunjungi makam gadis malang itu untuk menyenangkan dirinya sendiri.
Beberapa bulan kemudian, Kürten membunuh Gertrud Franken (17), dengan cara yang sama sebelum ia dipenjara karena serangkaian aksi perampokan dan pembakaran.
Setelah keluar dari penjara pada 1921, Kürten melanjutkan aksinya. Pria asal Jerman ini menikam, mencekik, dan membunuh korban-korbannya dengan palu. Ia lalu mengirimkan surat ke polisi dengan menyertakan lokasi penguburan salah satu korbannya untuk mengejek mereka.
Pada satu kesempatan, Kürten bertemu dengan kakak adik berusia lima dan 14 tahun. Kürten menyuruh sang kakak untuk membeli rokok, sementara ia mencekik dan mengiris tenggorok anak perempuan yang lebih kecil.
Source | : | Daily Mail |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR