Nationalgeographic.co.id - Spesies anggrek terbaru Eulophia lagaligo berhasil ditemukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Bersama dengan spesies anggrek Dendrobium nagataksaka yang ditemukan di Papua, anggrek Eulophia lagaligo ini juga telah diidentifikasi dan diterbitkan dalam jurnal ilmiah internasional Phytotaxa pada bulan September 2019.
Perjalanan panjang penelitian Eulophia
Peneliti Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya LIPI, Destario Metusala, mengatakan bahwa spesies anggrek Eulophia lagaligo sebenarnya sudah pernah ditemukan sebelumnya oleh taksonom C.L. Blume pada tahun 1859 berdasarkan spesimen dari pulau Timor dengan nama Eulophia bicolor.
Baca Juga: Menyusui Bisa Membantu Mengatasi Perubahan Iklim, Mengapa Begitu?
Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa nama spesies tersebut menjadi tidak diterima karena telah digunakan sebelumnya oleh taksonom N. A Danzell pada tahun 1851 untuk spesies yang berbeda.
“Dalam kajian taksonomi, sebuah nama spesies hanya boleh dipergunakan satu kali untuk sebuah taksa. Selain itu, selama ini anggrek Eulophia bicolor oleh Blume dianggap spesies yang sama dengan Eulophia nuda karena kemiripannya,” kata Destario.
Pada tahun 2008, Destario bersama tim dari Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi LIPI menemukan spesimen anggrek dari genus Eulophia di Sulawesi Selatan. Setelah dilakukan studi panjang yang mendalam, Destario berhasil membuktikan bahwa Eulophia bicolor berbeda dengan Eulophia nuda.
“Karena nama Eulophia bicolor sudah dipakai, kami memberikan nama Eulophia lagaligo untuk spesies baru tersebut,” jelasnya.
Makna dan ciri Eulophia lagaligo
Epitet lagaligo diambil dari nama La Galigo, yaitu sebuah karya sastra warisan dunia yang dibuat sekitar abad ke-14 dan berasal dari Sulawesi Selatan. Destario menjelaskan bahwa spesies baru Eulophia lagaligo memang memiliki kemiripan dengan Eulophia nuda.
“Perbedaanya ada di bentuk dagu bunganya yang berasal dari kaki tugu dan bibir-bunga dan menekuk ke bawah, tugu bunga yang lebih ramping, serta penutup anther yang memiliki sebuah tonjolan memanjang," ujarnya.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR