Penelitian ini menunjukkan bahwa penggambaran binatang dalam kawasan seni cadas prasejarah Misool memiliki pola fenomena totemisme dalam pengertian yang luas.
Terkonsentrasinya motif binatang laut diduga kuat menunjukkan keberadaan sistem kepercayaan yang kompleks, serta konsep dan metafora yang terkait dengan penggunaan binatang sebagai emblem klan dalam masyarakat yang dikategorikan oleh para ahli ke dalam pengertian totemisme.
“Yang juga menarik masyarakat tradisional di Misool saat ini masih memiliki kepercayaan animisme. Meskipun rata-rata telah beragama Islam, masyarakat Misool secara umum dan di Kampung Fafanlap secara khusus percaya terhadap roh-roh nenek moyang,” kata Yosua.
Mereka percaya bahwa dalam keadaan sakit atau ketika menghadapi bahaya, roh-roh leluhur akan datang untuk membantu. Kekuatan roh leluhur penolong yang dinamakan “Sun” tersebut diasosiasikan dalam bentuk binatang atau tumbuhan tertentu yang pantang untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Dalam perjalanan penelitian dan pemetaan seni cadas, fotografer Feri Latief mengikuti para peneliti. Dia sudah tiga kali ke tempat itu. “Kunjungan pertama tahun 2011, sekarang banyak yang berubah. Dulu tidak ada penginapan, sekarang ada beberapa penginapan berbentuk home stay untuk turis yang datang ke Misool,” kata Feri.
Gambar-gambar atau seni cadas ini berumur ribuan tahun. Tidak seragam masa pembuatannya, ini terlihat dari warna-warna dan motif gambar yang ada di sana. Ada gambar berwarna merah, kecoklatan bahkan putih.
Feri pernah menjumpai Pindi Setiawan, peneliti gambar cadas dari Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB pernah meneliti bahan pembuatan seni cadas dan menguji coba bahan itu. Mereka menggunakan bahan pewarna dari batu oker (ocre), getah tumbuhan dan lemak hewan yang disebut pewarna hematit.
“Pernah kita coba bandingkan kekuatannya dengan pewarna pada celana jeans. Satu celana menggunakan pewarna hematit, dan yang lainnya jeans biasa. Setelah dicuci berulang kali, bahan pewarna yang dibuat dengan hematit itu tidak mudah pudar. Lebih kuat dan tahan lama,” cerita Pindi kepada Feri.
Untuk warna putihnya, nenek moyang kita, para penghuni awal Nusantara menggunakan dari kapur yang terbuat dari kulit kerang yang dibakar dan ditumbuk halus.
Penulis | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR