Nationalgeographic.co.id - Lukisan yang tergores di dinding batu-batu kapur itu sungguh menarik hati. Tebing-tebing gamping yang menjulang ke angkasa itu berakar di air laut nan jernih. Di antara perairan yang membiru, tak ada yang menyangka jika dinding tebing menyimpan rahasia masa lalu para leluhur.
Dikelilingi perairan surgawi, Raja Ampat menjadi sala satu destinasi andalan Indonesia. Lataknya berada di wilayah Provinsi Papua Barat. Apabila kita lihat peta, tempat ini sungguh menakjubkan lantaran beragam pulau yang terserak di sekitarnya. Menurut catatan, ada 1.500 pulau-pulau kecil, pulau karang, serta beting, yang mengelilingi empat pulau utama: Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool.
Nama Raja Ampat yang berarti 'Empat Raja' diambil dari sebuah legenda. Tentang seorang perempuan yang menemukan tujuh telur—empat di antaranya menetas dan dipercaya menjadi Raja di keempat pulau utama tadi. Sementara itu tiga teur lainnya berubah menjadi perempuan, hantu, dan batu.
Baca Juga: Belajar Tentang Perbedaan dari Suku Korowai di Papua
Leluhur Nusantara memang unik. Bukan saja meninggalkan cerita turun-temurun, mereka juga meninggalkan jejak unik pada dinding tebing karst yang mencuat dari air laut. Lihat saja gambar-gambar yang ditemukan oleh peneliti di perairan Misool, salah satu pulau utama di wilayah Raja Ampat.
Di kawasan Misool ada banyak pulau-pulau kecil yang terbentuk dari tebing karst. Letak pulau yang membujur memanjang dari timur ke barat menjadi celah-celah yang harus dilewati pelayaran yang bergerak dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Pada 2018 sejumlah peneliti dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar penelisikan sejumlah tebing di kawasan Misool. Mereka juga melakukan pemetaan situs seni cadas yang terserak di wilayah itu.
“Motif seni cadas prasejarah di Kawasan Misool terdiri dari motif cap tangan, motif binatang, motif geometris, motif bulat, motif antropomorfis, motif stensil beliung, dan motif stensil boomerang,” sebut Yosua Adrian Pasaribu Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Motif binatang yang digambarkan pada 13 dari 23 situs seni cadas prasejarah di kawasan itu antara lain motif lumba-lumba, ikan-ikan laut, burung, dan kadal. Yosua telah meneliti motif binatang yang digambarkan dalam seni cadas di Misool.
Pada saat kunjungan lapangan, peneliti mendapatkan data berupa 59 gambar, terdiri 8 motif binatang pada 13 situs.
Baca Juga: BBM Satu Harga Bawa Papua Lebih Sejahtera, Keadilan Energi Bukti Indonesia Tolak Diskriminasi
Berdasarkan pengamatan terhadap data lapangan, seni cadas terdapat pada 23 situs di Misool. Satu situs yakni Gua Kasam 2 tidak memiliki tinggalan seni cadas prasejarah namun terdapat temuan berupa tulang belulang manusia, fragmen gerabah, arang, dan potongan-potongan stalagtit yang disusun membentuk ruang di lantai gua.
Pengamatan seni cadas mengidentifikasi 270 gambar yang terdiri dari motif cap tangan sebanyak 87 gambar, motif binatang sebanyak 59 gambar, motif geometris sebanyak 56 gambar, motif bulat sebanyak 45 gambar, motif stensil tidak teridentifikasi (unidentified) sebanyak 7 gambar, motif antropomorfis sebanyak 7 gambar, motif stensil beliung sebanyak 5 gambar, dan motif stensil bumerang sebanyak 4 gambar.
Motif seni cadas di kawasan Misool didominasi oleh gambar tangan, di samping motif binatang, terutama lumba-lumba, ikan surgeonfish, dan ikan tuna, motif geometris, antropomorfis, dan motif stensil bumerang serta beliung.
Gambar tangan dibuat dengan teknik semprot, sedangkan motif lainnya menggunakan teknik sapuan dan coretan kuas dengan warna merah. Seni cadas motif cap tangan, cap beliung, cap bumerang, cap geometris lingkaran yang diduga dibuat dengan keranjang, motif “yoni”, dan motif antropomorfis di kawasan Misool merupakan motif-motif yang unik pada repertoar seni cadas prasejarah Indonesia.
Berdasarkan temuan lapangan, lumba-lumba adalah motif binatang yang paling banyak digambarkan pada seni cadas prasejarah kawasan Misool dengan frekuensi penggambaran sebesar 37% dan persebaran sebesar 61%.
Ikan unidentified adalah motif binatang yang kedua paling banyak digambarkan dengan persebaran sebesar 53%. Motif ikan surgeonfish memiliki persebaran sebesar 23%. Ikan tuna memiliki persebaran sebesar 15%. Motif binatang lainnya hanya digambarkan paling banyak dua gambar dan hanya ditemukan pada satu situs.
Dari hasil kajian dan data lapangan, peneliti menyebutkan bahwa seni cadas prasejarah Kawasan Misool berdekatan dengan seni cadas prasejarah Arnhem Dynamic (Australia).
Dua motif binatang yang paling banyak digambarkan pada seni cadas prasejarah Misool adalah lumba-lumba dan ikan surgeonfish. Sedangkan dua motif binatang yang paling banyak digambarkan pada seni cadas prasejarah Arnhem Dynamic adalah makropoda dan ikan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penggambaran binatang dalam kawasan seni cadas prasejarah Misool memiliki pola fenomena totemisme dalam pengertian yang luas.
Terkonsentrasinya motif binatang laut diduga kuat menunjukkan keberadaan sistem kepercayaan yang kompleks, serta konsep dan metafora yang terkait dengan penggunaan binatang sebagai emblem klan dalam masyarakat yang dikategorikan oleh para ahli ke dalam pengertian totemisme.
“Yang juga menarik masyarakat tradisional di Misool saat ini masih memiliki kepercayaan animisme. Meskipun rata-rata telah beragama Islam, masyarakat Misool secara umum dan di Kampung Fafanlap secara khusus percaya terhadap roh-roh nenek moyang,” kata Yosua.
Mereka percaya bahwa dalam keadaan sakit atau ketika menghadapi bahaya, roh-roh leluhur akan datang untuk membantu. Kekuatan roh leluhur penolong yang dinamakan “Sun” tersebut diasosiasikan dalam bentuk binatang atau tumbuhan tertentu yang pantang untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Dalam perjalanan penelitian dan pemetaan seni cadas, fotografer Feri Latief mengikuti para peneliti. Dia sudah tiga kali ke tempat itu. “Kunjungan pertama tahun 2011, sekarang banyak yang berubah. Dulu tidak ada penginapan, sekarang ada beberapa penginapan berbentuk home stay untuk turis yang datang ke Misool,” kata Feri.
Gambar-gambar atau seni cadas ini berumur ribuan tahun. Tidak seragam masa pembuatannya, ini terlihat dari warna-warna dan motif gambar yang ada di sana. Ada gambar berwarna merah, kecoklatan bahkan putih.
Feri pernah menjumpai Pindi Setiawan, peneliti gambar cadas dari Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB pernah meneliti bahan pembuatan seni cadas dan menguji coba bahan itu. Mereka menggunakan bahan pewarna dari batu oker (ocre), getah tumbuhan dan lemak hewan yang disebut pewarna hematit.
“Pernah kita coba bandingkan kekuatannya dengan pewarna pada celana jeans. Satu celana menggunakan pewarna hematit, dan yang lainnya jeans biasa. Setelah dicuci berulang kali, bahan pewarna yang dibuat dengan hematit itu tidak mudah pudar. Lebih kuat dan tahan lama,” cerita Pindi kepada Feri.
Untuk warna putihnya, nenek moyang kita, para penghuni awal Nusantara menggunakan dari kapur yang terbuat dari kulit kerang yang dibakar dan ditumbuk halus.
Penulis | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR