Namun, kedua program tersebut belum bisa mendorong upaya pemilahan sampah yang dilakukan mandiri oleh masyarakat karena tiga hal berikut :
1) Masyarakat skeptis
Di Indonesia, masyarakat skeptis dengan kegiatan pemilahan sampah karena mereka melihat sampah yang sudah dipisahkan nantinya akan tercampur juga di dalam truk dan gerobak sampah.
2) Sarana dan prasarana
Keterbatasan fasilitas di TPS-3R dan bank sampah juga menjadi masalah.
Pemerintah kota seperti di Semarang contohnya terlihat kewalahan memberikan bantuan sarana dan prasarana pendukung untuk bank sampah, seperti gudang, mesin pencacah, armada angkut, maupun pendampingan tentang pengelolaan fasilitas TPS-3R.
3) Pengelolaan secara profesional
Pengelolaan sampah di daerah berjalan tidak maksimal karena tidak ditangani oleh orang yang profesional dan ahli di bidang persampahan.
Dari 28 lokasi TPS-3R di Semarang, Jawa Tengah, hanya empat yang dikelola secara profesional dan beroperasi dengan baik.
Demikian juga dengan pengelolaan bank sampah. Bank sampah biasanya dipegang oleh individu secara sukarela, terutama oleh ibu rumah tangga. Seringkali, bank sampah tidak bisa menutup biaya pengeluaran, seperti aset, fasilitas, dan operasional karena tergantung kepada partisipasi aktif nasabah.
Ketika pengelola bank sampah merasa waktu dan tenaga yang tercurah tidak sepadan dengan manfaat ekonomi, maka mereka akan memilih untuk berhenti.
Berdasarkan analisis kami di kota Semarang, tingkatan terendah agar bank sampah bisa menutup biaya pengeluaran adalah memiliki sekitar 400 rumah tangga sebagai anggota aktif dengan estimasi produksi sampah per orang 0,6 kg, dengan tingkat daur ulang 20% dan rata-rata harga limbah daur ulang senilai Rp 1.000.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR