Nationalgeographic.co.id— Jika gerimis di Italia sama menakjubkannya dengan gerimis di Indonesia, virus di Italia pun sama mematikannya dengan virus di Indonesia.
Pelajaran pertama. Awal pandemi di Italia diikuti oleh berita-berita hoaks yang berseliweran di media sosial, sentimen xenofobia terhadap ras tertentu. Namun, warga bisa segera meredamnya.
Pelajaran kedua. Jelang pemberlakukan kebijakan karantina, para pekerja di Kawasan Lombardia justru pulang kampung. Mereka memilih menjauh dari Kota Milan, yang saat itu mulai menjadi episentrum pandemi. Celakanya, mereka justru sebagai pembawa virus untuk keluarga di kampung. Mudik bukanlah solusi meredam berjangkitnya virus.
Pelajaran ketiga. Karakter warga Italia yang selalu menjalin kedekatan dan kekerabatan menjadi salah satu pemicu meledaknya jumlah warga yang terinfeksi. Pembatasan sosial adalah kunci untuk memutus penyebaran virus.
Baca Juga: Akhir Karantina Italia, Laporan Pandangan Mata dari Episentrum Pandemi
Pelajaran keempat. Pemerintah daerah bersinergi kuat dengan pemerintah pusat. Pemerintah berdisiplin menerapkan aturan dan mendorong transparansi data. Kebijakan untuk mengakhiri karantina diputuskan karena melihat kecenderungan pasien terinfeksi yang menurun. Ini bukan kebijakan ideal karena fasenya masih rentan atau pemulihan. Dorongan lainnya, ekonomi harus bangkit segera.
Pelajaran kelima. Kendati infrastruktur kesehatan memadai pada kondisi normal, tetap saja rumah sakit tidak mampu menyediakan pelayanan standar saat tsunami korban virus berdatangan.
Pelajaran keenam. Infrastruktur kesehatan lumpuh. Peti-peti mati berjajar di jalan. Namun, pemerintah mendukung dan menjamin logistik bagi keluarga-keluarga yang harus melakukan karantina mandiri. Kualitas kepemimpinan memang dipertaruhkan dan teruji pasa masa ini.
Pelajaran ketujuh. Munculnya gerakan sosial untuk meringankan warga yang rentan terinfeksi seperti orang tua. Sukarelawan tampil dari pelajar SMA sampai masyarakat umum. Para pemilik rumah mode mengajak para desainer untuk menghimpun dana pembuatan masker dan penyanitasi tangan yang dibagikan gratis untuk warga. Industri busana mengubah bengkel kerja mereka menjadi bengkel kerja untuk industri dadakan tadi.
Pelajaran kedelapan. Warga benar-benar berupaya berdisiplin. Mereka sadar sedang berperang dengan musuh yang tak kelihatan. Meski sudah berdisiplin pun korban sudah berjatuhan, apalagi tak berdisiplin.
Baca Juga: Kalahkan Italia dan Jepang, Spanyol Jadi Negara Paling Sehat di Dunia
Demikianlah catatan ringkas saya dan Didi Kaspi Kasim dari perbincangan bersama Rieska Wulandari dalam sesi siaran langsung #BerbagiCerita Akhir Karantina Italia, Laporan Pandangan Mata dari Episentrum Pandemi. Rieska adalah jurnalis lepas yang telah tinggal di Kota Mode Milan, selama satu dekade terakhir. Dan, temuan tadi hanya segelintir dari kehidupan nyata di Italia, dan tidak mewakili pandangan semua orang Italia.
Sebagai kota mode dan otomotif, saat warga Italia dilanda kecemasan tentang pandemi ini, ada pemeo yang setidaknya membesarkan warga Italia. "Orang Italia boleh jatuh tersungkur di ICU," kata Rieska, "tetapi pompanya Ferari dan maskernya dari Armani."
Kita tentu bertanya-tanya mengapa virus menyebar begitu dahsyat di Italia? Ibarat bensin yang tersambar api.
"Kata epidemologis, penyebaran penyakit ini cepat sekali," tutur Rieska. "Bahkan ada satu pasien di sini yang secara survei bisa menginfeksi 60 orang. Luar biasa memang kekuatan penyebaran virus ini."
Pandemi yang begitu cepat di Italia disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah kepadatan penduduk. "Pertama adalah densitas dan populasi. Di Italia orang hidup di rusun, satu kompleks bisa padat terdiri atas beberapa keluarga. Itu berisiko tinggi," ujarnya.
Dia menambahkan bahwa pada awal penanganan pandemi di Italia, penderita yang terinfeksi masih di karantina dalam gedung yang sama. Ini berbeda dengan penanganan di Wuhan yang sejak awal memisahkan dan memindahkan mereka yang terinfeksi.
Sebelum pemerintah Italia menyatakan berjangkitnya pandemi pun ternyata virus sudah menjangkiti penghuni rumah-rumah jompo. "Dan itu unstopable—tiba-tiba dalam satu malam di rumah jompo bisa meninggal tujuh orang!" kata Rieska. "Itu kita seperti dalam perang tiba-tiba yang meninggal banyak sekali, tetapi musuhnya tidak kelihatan. Itu yang membuat kita terkaget-kaget."
Dan, menurutnya, dibukanya karantina pada awal musim semi ini masih menjadi hantu bagi warganya. "Itu seperti hantu dalam arti kita tidak takut, tetapi kita tidak ingin kejeblos dua kali."
Saya masih ingat pesan Rieska, "Kita berusaha untuk tidak terjangkit dan tidak menjangkiti. Bagaimana caranya? Diam di rumah." Pesan yang kadang terlupa karena kita merasa sehat lalu sok aksi dengan eksis di kerumunan. Terima kasih banyak atas berbagi ceritanya, Rieska.
Perbincangan itu digelar via konferensi daring Zoom yang ditayangkan langsung di akun Facebook National Geographic Indonesia pada 19 Mei silam. Pagebluk telah menyadarkan kita bahwa kita masih menghuni Bumi yang sama. Upaya bersama menjaga Bumi akan berdampak pada kemaslahatan penghuninya.
Baca Juga: Lukisan Erotis Ratu Leda dan Angsa Ditemukan di Reruntuhan Pompeii
Italia memulai karantinanya pada 9 Maret dan mengakhirinya secara bertahap mulai 4 Mei. Artinya, puluhan juta warganya berangsur memasuki kondisi tata kehidupan baru.
Negeri ini telah melewati masa krisis terburuknya dalam prahara pandemi COVID-19. Pada catatan per 23 Mei 2020, total sejumlah 228,6 ribu warganya telah terinfeksi. Sejumlah 136,7 ribu warganya berhasil sembuh dan menikmati kesempatan kedua dalam hidup mereka. Namun, jumlah yang tewas pun mencapai lebih dari 32,6 ribu jiwa.
Italia adalah negeri yang sohor akan pentas operanya. Dari opera karya Giuseppe Verdi sampai Giovanni Pergolesi. Apabila cerita pagebluk disajikan dalam pentas opera, Italia memiliki cerita paling dramatis. Pada minggu kedua karantina, 19 Maret, Italia mencetak sejarah jumlah terinfeksi yang terburuk sedunia. Namun, posisi ini segera diduduki oleh Amerika Serikat jelang minggu kedua April.
Jelang musim semi di Italia, harapan baru pun turut bersemi di sanubari warganya. Saya menyampaikan ucapan selamat kepada warga Italia atas akhir dari pertempuran besar, kendati musuh yang tak kelihatan itu masih di sekitar kita.
Baca Juga: Wabah Corona, Ikan Kecil Hingga Lumba-Lumba Muncul di Perairan Italia
Kembali ke rayuan pulau kelapa, Indonesia. Jakarta adalah episentrum pandemi untuk kawasan Indonesia. Batavia, nama lama untuk Jakarta, pernah dipadankan dengan salah satu kota di Italia. Kota ini pernah mendapat sanjungan sebagai "Venesia dari Timur".
Secantik apapun negeri orang kita tentu masih bangga sebagai orang Indonesia. Kita cukup belajar pengalaman dari Italia, supaya pagebluk tidak kian memburuk. Ingat, virus di Italia sama mematikannya dengan virus di Indonesia. Saya kira kita pun tak rela ada sebutan baru untuk Indonesia pascapagebluk: "Italia dari Timur".
Namun, apa yang terjadi belakangan ini membuat kita jadi berpikir. Apakah semua warga sudah berjuang mati-matian melawan pagebluk ini? Tenaga kesehatan jelas telah bertempur dengan cara memberikan dedikasinya untuk negeri ini.
Kita seperti orang kebanyakan. Tampaknya kita belum ada di medan pertempuran sesungguhnya meski musuh sudah bersiap menikam. Untuk menghadapi pertempuran besar itu kita masih sebatas hadir di pesta selamatan. Kita berpesta dari malam ke malam, sementara kapan pertempurannya kita pun lupa. Maklum lebaran.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR