Nationalgeographic.co.id - Kebakaran hutan tak terkendali terjadi di beberapa negara seperti Portugal, Yunani, Spanyol, Swedia, California, Brasil dan Australia. Para peneliti mengatakan, bencana ini berkaitan dengan pemanasan global.
Faktor-faktor seperti penebangan liar dan pengelolaan hutan yang kacau juga telah memicu frekuensi dan intensitas kebakaran.
“Hutan memang sudah sakit, namun perubahan iklim adalah akseleratornya,” kata David Bowman, profesor perubahan biologi lingkungan dari University of Tasmania.
Baca Juga: Elang Langka Ditemukan Mati Diracun, Mengancam Jumlah Populasinya
Berikut sepuluh alasan mengapa perubahan iklim berperan dalam bencana kebakaran hutan:
Cuaca bagus untuk api
Menurut para pemadam kebakaran, resep terbaik untuk memicu kebakaran adalah cuaca yang panas, kering, dan berangin. Iklim seperti itu, kini terjadi lebih sering akibat perubahan iklim.
“Selain membuat udara lebih kering dan panas, perubahan iklim juga menciptakan lebih banyak ekosistem yang rentan terbakar,” kata Christoper Williams, direktur ilmu lingkungan di Clark University.
Dalam 20 tahun terakhir, Prancis dan Portugal telah mengalami tiga hingga empat kali kekeringan ekstrem. Padahal, itu biasanya hanya terjadi sekali dalam satu abad.
Menciptakan bahan bakar
Iklim kering berarti akan semakin banyak pohon, semak, dan rumput yang mati. Ini menciptakan lebih banyak bahan bakar untuk api.
“Tahun-tahun penuh kekeringan menimbulkan lebih banyak biomassa yang mudah terbakar,” kata Michel Vennetier, insinyur di National Research of Science and Technilogy for Evironment and Agriculture (IRSTEA).
Perubahan lanskap
Untuk membuat keadaan memburuk, semakin banyak spesies-spesies baru yang tumbuh di wilayah kering.
“Tanaman yang menyukai kelembapan telah menghilang, digantikan dengan tumbuhan mudah terbakar yang ‘berteman’ dengan cuaca kering -- seperti rosemary dan lavender,” kata Vennetier.
“Perubahannya terjadi cukup cepat,” imbuhnya.
Tanaman yang haus
Dengan curah hujan yang semakin sedikit, pohon dan semak-semak akan mengirim akarnya lebih dalam ke tanah. Ini dilakukan agar bisa menghisap lebih banyak air yang menyuburkan daunnya. Namun, sebagai akibatnya, uap air di Bumi yang mampu memperlambat kobaran api tidak ada lagi.
Musim yang lebih panjang
Di belahan bumi utara, musim kebakaran biasanya berlangsung pendek – hanya di bulan Juni dan Agustus saja.
“Namun, saat ini, periode rentan kebakaran terjadi di bulan Juni hingga Oktober,” kata Thomas Curt, ilmuwan dari IRSTEA.
Bahkan, di California, tidak ada lagi periode kebakaran. Beberapa ahli mengatakan, bencana tersebut bisa menyerang California kapan saja, sepanjang tahun.
Lebih banyak petir
“Semakin hangat Bumi, maka semakin banyak petir yang kita miliki. Artinya, akan lebih banyak yang menyambar pohon dan menyebabkan kebakaran,” papar Mike Flannigan, profesor di University of Alberta sekaligus direktur Western Partnership for Wildland Fire Science.
Intensitas yang sulit ditangani
Perubahan iklim tidak hanya memicu kebakaran, tetapi juga meningkatkan intensitasnya.
“Jika api terlalu intens, seperti yang terlihat saat ini di California dan Yunani beberapa minggu lalu, tidak ada waktu pasti kapan itu bisa dihentikan,” kata Flannigan.
Wabah kumbang
Dengan suhu yang semakin panas, kumbang-kumbang mulai mengarah ke hutan boreal Kanada. Mendatangkan malapetaka dan merusak pohon sepanjang perjalanan.
“Wabah kumbang ini meningkatkan kerentanan pada kebakaran karena ia menambah banyak pohon-pohon yang mati,” kata Williams.
Baca Juga: Dampak Aktivitas Manusia di Antarktika Lebih Parah dari yang Diperkirakan
Lingkaran setan
Secara global, hutan menyimpan 45% karbon Bumi dan menyerap seperempat emisi gas rumah kaca yang diciptakan manusia. Namun, ketika hutan mati dan terbakar, beberapa karbon dilepaskan kembali ke atmosfer dan akhirnya berkontribusi pada perubahan iklim.
Kemudian, perubahan iklim akan menyebabkan kebakaran di Bumi. Menurut peneliti, proses ini seperti lingkaran setan yang tidak ada ujungnya.
Source | : | AFP |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR