Nationalgeographic.co.id—Pada awal September silam, beredar siaran pers masyarakat sipil Manggarai Barat terkait proyek Pariwisata Superpremium di Taman Nasional Komodo. Mereka menyuarakan bahwa pembangunan fasilitas wisata itu akan mencederai kelangsungan hidup komodo dan mencederai prinsip konservasi.
Apakah benar, dampak pembangunan ini begitu buruk untuk kelestarian komodo?
Rencananya di Loh Liang Pulau Rinca akan dibangun sarana prasarana berkonsep "geopark" dengan beton berikut pengeboran sumur-sumber mata air. Pemerintah telah mengizinkan tiga perusahaan swasta untuk membangun sarana bisnis wisata seluas 470,7 hektare di kawasan konservasi yang diubah menjadi zona pemanfaatan. Pembangunan sarana dan prasarana ekowisata ini segera mendapat julukan "Proyek Jurassic Park".
Di atas perahu pinisi, di perairan Taman Nasional Komodo, saya mewawancarai Shana Fatina, Dirut Badan Otoritas Pariwisata (BOP) Labuan Bajo. Menanyakan persoalan proyek yang ditentang orang banyak.
Hampir dua abad yang lalu, UNESCO menetapkan Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia. Shana melihat bahwa itu keistimewaan yang luar biasa. Sehingga pariwisata yang dikembangkan bukan hanya mass tourism tapi lebih ke wisata minat khusus. Kelas-kelas yang wisatawan yang dipilih adalah orang yang menghargai warisan purba. Atau kelas yang dinamakan premium.
"Jadi kelasnya adalah premium, kemudian mereka harus bayar mahal untuk bisa masuk ke sini. Tapi penekananya bukan mahalnya, tapi pengalaman apa yang bisa ditawarkan oleh TN Komodo," kata Shana.
Adapun pembagian kelasnya. Pulau Rinca, menjadi wilayah yang bisa dikunjungi wisatawan budget rendah, demikian menurut Shana. Sedangkan Pulau Komodo ditata untuk wisatawan minat khusus.
Baca Juga: Gas di Bumi Ditemukan Juga di Venus, Tanda Adanya Kehidupan?
Saya menyapukan pertanyaan pada pembangunan beton di Pulau Rinca. Shana mengatakan bahwa semua pembangunan di Taman Nasional Komodo sudah mengikuti ketentuan Kementerian Lingkungah Hidup pada zona pemanfaatan.
Dan bahwa betonisasi adalah sesuatu yang berkelanjutan. Shana melanjutkan, untuk menambah caring capacity dari Loh Buaya perlu ditingkatkan demi fasilitas wisatawan.
"Saya pikir kita mesti keluar untuk bisa benchmark gitu ya, bagaimana pengelolaan taman nasional kelas dunia di dunia yang dilakukan. Memangnya kita melakukan itu tidak melakukan riset? Pasti sudah di desain oleh orang orang yang memahami itu. Kemudian juga ini menyambung tentang bagaimana seolah-olah merasa paling tahu komodo itu seperti apa hidupnya. Sementara, itu juga yang saya bilang premium tadi, premium itu harusnya kita punya database yang jelas tentang perilaku komodo, perilaku flora dan fauna lainya seperti apa dan bagaimana," tegasnya.
Pengeboran sumber mata air di Rinca, Shana yakin bahwa itu sudah melalui survei hidrogeologi. Alasan mengapa sumber air perlu di bor adalah untuk mencukupi kebutuhan air bagi para wisatawan dan jagawana.
Saya mendatangi kediaman Aloysius Suhartim Karya atau akrab disapa Louis, di Labuan Bajo. Kebetulan dia berprofesi sebagai pemandu wisata dan mantan jagawana. Selain itu kini dia menjabat sebagai Ketua Formapp (Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata Manggarat Barat).
Dia berkisah bahwa rencana pembangunan infrastruktur ekowisata ini sejatinya sudah bermula sejak 2018. Rencana itu berupa pembangunan rest area di Loh Baya, Pulau Rinca.
Namun, dia menambahkan bahwa lokasi yang ditawarkan sebagai tempat pembangunan itu merupakan kawasan berkumpulnya komodo. "Kalau seandainya pembangunan di sana maka itu merusak natural instinct mereka. Karena cium bau makanan toh. Jadi pembangunan pariwisata alam di sana dengan harus kajian yang sangat teliti, tidak semudah itu. Komodo karakternya itu ia solitaire animal, ia tidak suka keramaian. Karena kalau ribut, lari dia," tutur Louis.
Dia memberikan penjelasan bahwa daerah Pulau Rinca dan Pulau Padar adalah daerah paling kering di Taman Nasional Komodo. Hanya ada empat sumber mata air di Loh Buaya Pulau Rinca. Sementara menurut Louis, jika dilakukan pengeboran maka akan mengganggu sirkulasi air bawah tanah. Secara otomatis akan mengganggu kehidupan komodo.
Baca Juga: Kapal Berusia 400 Tahun Ditemukan di Laut Baltik dalam Keadaan Hampir Utuh
"Sekarang saja kalau musim kering tidak ada air. Ia makan kerbau dan minum darahnya. Ia mengonsumsi 75 persen dari darah kerbau kalau tidak ada air. Nah, kerbau ini minum dari mana? Minum air kubangan dan kubangan tidak banyak sekarang. Mereka akan beranak saat musim hujan. Kalau seandainya kerbau kehilangan air ini akan beradampak terhadap komodo. Karena ia bergantung pada satwa itu," kata Louis.
Penjelasan Louis berikutnya tentang konteks zona pemanfaatan tidak bisa sembarangan dilakukan pembangunan karena komodo dan satwa lain berada di sana. Salah satu tempat pembangunan sarana ekowisata itu berada di dekat pos jagawana (ranger station) dan area mangrove di Pulau Rinca.
Di tempat mangrove yang sekarang digusur dan masih berdekatan dengan pos jagawana, Louis pernah mengantar sekelompok ahli herpetologi asal Taiwan. Dia menunjukkan kepada mereka tiga jenis ular endemik Taman Nasional Komodo: green pit viper, russell viper, dan spitting cobra.
"Itu kalo mereka lihat ular-ular itu senangnya minta ampun. Itu russell viper dan itu sudah digusur sekarang. Jadi yang sudah digusur sekarang habitat ular dan monyet. Komodo itu kan makan monyet juga. Dan monyet itu menghabiskan waktunya di pohon pohon mangrove yang sekarang digusur," kata Louis.
Selain ular, mangrove yang nanti dibabat ialah tempat habitat monyet. Kawasan ini juga menjadi tempat tinggalnya bayi-bayi komodo untuk berjemur dan berlindung dari mangsa induknya.
"Bayi komodo itu mereka setelah menetas tinggal di atas pohon selama tiga tahun. Makanannya serangga dan monyet. Kenapa mereka tidak turun ke bawah karena komodo kanibal. Bisa dibayangkan ini tempat cari makan komodo. Ketika ini digusur ini hilang. Ini akan dijadikan jalan elevasi," demikian ungkap Louis.
Louis merendahkan suaranya ketika menerangkan kepada saya apabila semua kekhawatirannya berujung kenyataan. Ia merasa sedih apabila komodo-komodo bermigrasi ke tempat yang lain.
Dia teringat seorang pejalan mancanegara pernah mengatakan kepada dirinya bahwa Flores adalah "a little diamond in Indonesia". Louis bertanya kepada pejalan itu, "Why do you say diamond?"
Sang pejalan menjawab, "Your culture, nature, and the people are amazing. Louis. Come on, because were living in the big city. This is the real paradise."
Louis mengenangnya sembari tersenyum.
Inilah nirwana yang sesungguhnya didamba oleh para pejalan dari penjuru dunia. Semoga setiap pejalan senantiasa memuliakan taman nirwana ini. Semoga setiap tempat yang mereka singgahi akan berakhir bahagia ketika mereka tiba kembali ke rumah.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Wawancara Shana Fatina,Wawancara Aloysius Suhartim Karya |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR