Oleh: Feri Latief
Nationalgeographic.co.id - Udara dingin di kaki Gunung Slamet menjadi kawan terbaik Rianto (40 tahun), penari international asal Banyumas Jawa Tengah, saat ia menggelar pentas tari karyanya ‘Mantra Tubuh’. Ia mementaskan tariannya hari Jumat (2/10/2020) pukul 03:00 dinihari saat udara dingin pengunungan semakin menusuk.
Uniknya Rianto menari bukan di atas panggung sebagaimana pementasan pada umumnya , melainkan di sungai kecil berair jernih yang dangkal dikungkung hutan kawasan Baturaden, Purwokerto Jawa Tengah. Ia bersama penari muda yang juga asal Banyumas, Dani Setiyawan (21 tahun), menjadikan gerak tubuhnya menjadi mantra.
Penari yang kisah kehidupannya diangkat Garin Nugroho dalam film peraih Piala Citra 2018, ‘Kucumbu Tumbuh Indahku’ membuat tarian untuk menghormati alam. Sengaja ia memilih menari di alam terbuka, di kaki gunung Slamet, di hutan dan disungai yang jernih.
Baca Juga: Chef Michael: Gastronomi Labuan Bajo Adalah Pertemuan Bangsa-Bangsa
“Saya jatuh cinta sekali dengan alam di sini, ada unsur air, bebatuan yang besar-besar, kemudian ada pohon-pohon. Seperti kembali pada bumi saya sendiri dan tubuh saya sendiri. Tarian ‘Mantra Tubuh’ ini berangkat dari situ, saya ingin mempresentasikan suara bumi melalui tubuh-tubuh alam ini; air, pohon, bebatuan bahkan manusia,” jelas Rianto yang sekarang bermukim di Jepang dan membuka sanggar tari Jawa bersama istrinya di Negeri Sakura tersebut.
“Tubuh-tubuh itu punya fungsi sendiri-sendiri, jika tubuh itu tidak berfungsinya sebagaimana mestinya akan timbul kekacauan,” lirih Rianto.
Bagi Rianto, alam yang dijadikan panggung pementasan tarinya adalah bagian dari tubuhnya sendiri. Mengeksplorasi alam berlebihan maka sama saja mengeksplorasi tubuh manusia secara berlebihan.
“Alam itu panggung itu sendiri, menari di alam bebas intensnya lebih terasa,” jelasnya lagi.
Tarian ‘Mantra Tubuh’ gerakannya seperti tanpa pakem. Tarian diawali oleh pemunculan Dani Setiyawan bertelanjang dada di sungai berkabut. Kakinya menghentak-hentak bumi seperti berlari di tempat selama tujuh menit. Gerakan ini mengingatkan pada gerakan pembuka tarian masterpiecenya Eko Supriyanto, Cry Jailolo.
Berawal dari gerakan perlahan kemudian menjadi cepat dan bertenaga. Ada aroma gerakan tari Ebek atau Kuda Lumping ala Banyumasan di sini. Ia kemudian memainkan tambang putih, yang oleh Rianto dimaknai sebagai penyeimbang kehidupan.
Tambang itu dijadikan pecut seperti tarian pada kuda lumping. Tambang yang dipecut-pecutkan ke air membuat cipratan yang artistik. Apalagi dikemas dengan tata lampu yang apik, cipratan air yang beningnya berhamburan ke udara. Jenius!
Puncaknya ia membuang tambang itu ke sungai, seperti menjadi lambang keseimbangan alam yang dicampakkan manusia. Lalu melarungkan diri ke dalam sungai. Saat itulah Rianto muncul bak dari dasar sungai.
Ia mulai menari sendiri, ada gerakan yang menjumput Lengger Banyumasan. Selebihnya tubuh Rianto bagai tak terkendali bergerak ke sana kemari. Meliuk, melompat, menghentak bahkan menghempaskan diri ke sungai, nyungsep!
Ketika Dani handir kembali menjadi tandem Rianto dengan membawa dua tambang putih. Mereka kemudian mengeksplorasi tambang, dari bergulat, melompat-lompat seperti anak kecil yang kegirangan bermain air, dan tiba-tiba berubah menjadi adegan kejar-kejaran dengan Dani di sungai. Gerakannya cepat bertenaga dan semakin dramatis.
Kedua penari terus berimprovisasi sepanjang pementasan yang menghabiskan waktu sekitar 25 menit. Walau mereka bergerak bebas seolah tanpa pakem, alurnya selaras dengani irama musik, tetabuhan dan suara sinden di tepi sungai. Musik itu menjadi penegas makna tariannya.
Sinden, Cahwati (37 tahun), menembang sambil menabuh Gandrang Makassar. Bukan satu alat musik saja yang ia mainkan, bersama Rumpoko Setiaji (39 tahun), keduanya memainkan Mandolin, Kendang Banyumasan, Kemenak, Kluntungan Sapi, Bende, Gelang Krepyak dan Genta.
Bebunyian yang ditabuh, dentingan genta dan lengkingan suara Cahwati membangun suasana mistis. Ia menembangkan mantra-mantra Jawa ala Banyumasan.
“Eling eling eling eling sapa eling balik maning," lengkingan Cahwati berulang-ulang memecah kesunyian hutan.
Mantra yang bermakna agar manusia selalu ingat bahwa berasal dari alam pada akhirnya akan kembali ke alam. Rianto mengingatkan terkait situasi terkini yang dilanda pandemic bahwa keseimbangan alam telah rusak dan menimbulkan malapetaka bagi umat manusia.
Cahwati pun menembangkan mantra untuk mengusir hal-hal yang negative dari segala arah
“Tulak tanggul saka wetan, tulak tanggul saka kulon, tulak tanggul saka kidul, tulak tanggul saka lor kabeh pada sumingkir.”
Kala lembayung mulai mengintai di kaki Gunung Slamet, Rianto dan para seniman bermantra melalui tubuhnya untuk menegaskan pentingnya kita mencintai diri sendiri dan bumi.
Baca Juga: Kotak Keperawanan dan Budaya Kampung Adat Cecer Manggarai Barat
Tarian ‘Mantra Tubuh’ Rianto inilah yang dijadikan pembuka untuk Pekan Kebudayaan Nasional 2020 yang melibatkan hampir 5000 seniman di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Pekan Kebudayaan ini akan dimulai secara resmi 31 Oktober dan berakhir 30 November 2020. Pentas tari akan diselenggarakan tanpa penonton dan hanya direkam dengan video kemudian disiarkan ke berbagai platform.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR