Nationalgeographic.co.id—Korupsi di negeri ini bukanlah barang lama di negeri ini. Praktik korupsi sudah dilakukan pada zaman kerajaan dalam bentuk penggelembungan pajak desa. Kemudian disebutkan pula oleh Ong Hok Ham dalam buku Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, bahwa para petani sering menjadi target penyelewangan oleh para penguasa.
Meskipun korupsi marak dari jaman ke jaman di bumi nusantara, ada beragam upaya untuk menumpasnya. Salah satu tokoh yang paling gencar dalam penumpasan sejarah pemberantasan korupsi pada masa kolonial Hindia Belanda dilakukan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, dengan memperbaiki sistem koloni yang yang lemah sejak era VOC (Vereenidge Oostindische Compagnie).
Sebelumnya, menurut sejarawan dari Universitas Indonesia Djoko Marihandono dalam jurnalnya Upaya Pemberantasan Korupsi di Hindia Timur, menyebutkan bahwa pada era VOC pejabat pemerintah tinggi (Hooge Regeering) banyak yang merangkap jabatan. Permasalahan lain selain secara administrasi, mental pejabat Hindia Timur sangat lemah akibat gaji yang minim, sehingga mencari dana gelap lainnya. Akibatnya, gubernur jenderal di sidang Dewan Hindia (Raad van Indie) sering diserang oleh pemerintah Belanda karena sering menerima suap dan melakukan tindak korupsi.
Berkait pemberantasan korupsi di zaman VOC, kita bisa mengetahuinya dari The Archieve of The Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia yang dihimpun Nationaal Archief The Hague bekerjasama dengan Arsip Nasional Republik Indonesia. Menurut arsip tersebut VOC sempat melakukan pemberantasan korupsi dengan membentuk komisi khusus (Hoge Commissie) yang bertugas memeriksa dan menyelesaikan skandal administrasi.
Korupsi yang sering terjadi pada era VOC inilah yang mengakibatkan kongsi dagang terbesar di dunia tersebut bangkrut, dan sempat diejek publik sebagai Vergaan Onder Corruptie (hancur karena korupsi).
Pengutusan Daendels tidak lain menurut Marihandono, selain memperbaiki juga memodernisasi administrasi Hindia Timur saat Belanda sendiri diduduki oleh kekuasaan Perancis pasca Revoluis Perancis.
"Napoleon Bonaparte memerintahkan kepada Raja Belanda Louis Napoleon saat itu untuk mencari calon gubernur jenderal di Hindia Timur yang dapat menjaga martabat Prancis," tulisnya. "Sebelum keberangkatannya ke pulau Jawa, Daendels menerima surat keputusan pengangkatan dirinya menjadi gubernur jenderal pada tanggal 28 Januari 1807."
Baca Juga: Misteri Penis Kecil Napoleon yang Berpindah-pindah Tangan Lintas Benua
Tugas utama Daendels yang diinstruksikan dan sekaligus pengangkatannya sebagai Marsekal oleh Raja Belanda pada 9 Februari 1807 dijabarkan sebagai berikut:
A) Instruksi untuk Gubernur Jenderal (37 pasal)
B) Instruksi untuk Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia (25),
C) Instruksi kepada Gubernur Jenderal untuk membubarkan Pemerintahan Tinggi di Batavia (Haute Régences des Grandes Indes) (6 pasal).
Langkah awal yang dilakukan Daendels saat tiba di Jawa dan menjabat sebagai gubernur jenderal ialah menaikkan gaji para pegawai pemerintah, dan melarang pegawai pemerintahan untuk melakukan perdagangan.
"Dia yakin bahwa korupsi terjadi karena rendahnya gaji yang mereka terima, sehingga semua hal yang berkaitan dengan uang pasti akan mereka dahulukan," terang Marihandono.
Daendels juga melarang setiap gubernur dan pegawai pemerintah untuk menerima atau mengirim parsel dan paket. Ini disebabkan karena laporan bahwa para bupati, yang dijabat oleh pribumi, diwajibkan untuk memberikan uang pengakuan (uang bekti) kepada gubernur.
Praktik ini di mata Daendels sama saja dengan gratifikasi yang mengganggu kepentingan negara. Maka agar mempertegas aturan tersebut, ia bahkan menerbitkannya dengan beberapa bahasa agar bisa dipatuhi banyak kalangan.
Pada sektor ekonomi, Daendels memberikan regulasi ketat mengenai ketepatan berat dan harga barang dagangan.
"Hal ini dilakukan karena Daendels menemukan manipulasi bobot komiditi hasil bumi," tulis Marihandono. "Misalnya di satu kabupaten di Priangan, petani menyerahkan kepada bupati sepikul kopi dengan bobot 250 pon, kemudian bupati menyerahkan kepada pejabat Eropa dengan bobot 140 pon sepikulnya."
Seiring dengan kebijakan tersebut Daendels juga melakukan pengawasan, dan instruksi kehati-hatian dalam penyerahan barang agar tak terjadi penyusutan. Kebijakan ini berlaku dari masyarakat, hingga pekerja di gudang-gudang barang dagang negara.
Tanah Jawa memiliki kekayaan alam yang besar yang dapat memicu eksploitasi ilegal oleh pejabat-pejabat Hindia Timur. Daendels memperbaiki kebijakan tentang perhutanan dan sumber daya alam yang harus dijaga dan dikelola oleh dinas kehutanan.
Ia juga memberi kode label pada hasil produk kehutanan supaya bisa mengetahui tindakan pembalakan liar. Semua regulasi yang dikeluarkan dari Daendels memiliki sanksi yang sangat berat untuk membuat jera.
"Jika terbongkar, mereka akan dihukum dengan denda, kehilangan jabatan, atau bahkan hukuman mati," tulis Marihandono. "Mereka yang kedapatan melakukan kecurangan senilai lebih dari 3 ribu ringgit atau setara dengan 1 bulan gaji Ketua Dewan Hindia (Raad van Indie) akan disidangkan dan dijatuhi hukuman mati dengan cara ditembak."
Daendels memang mengembangkan regulasi taktik pencegahan tindak korupsi, tetapi dia bukanlah malaikat dalam buku sejarah yang benar-benar bersih.
Sejarawan Bernard Hubertus Maria Vlekke, dalam Nusantara: A History of the East Indian Archipelago menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal Daendels, meskipun mengembangkan taktik pencegahan tindak korupsi, tapi justru ialah yang secara terang-terangan menyalahgunakan jabatan.
Vlekke menulis, bahwa Daendels telah merampas berbagai aset pemerintah kolonial seperti rumah peristirahatan di Bogor yang ia jual kepada gubernur jenderal setelahnya, Janssens, dengan keuntungan sebesar f900.000.
Kelemahan Daendels dalam regulasi anti korupsinya juga disebutkan oleh Peter Carey dalam Daendels dan Ruang Suci Jawa, bahwa perubahan yang dibawanya menjadikan Hindia Timur sebagai rechstaat (negara hukum) hanya menguntungkan kolonial, bukan untuk pribumi.
Melalui sistem tersebut, kelak akan menjadi pemicu Perang Jawa pada 1825 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Baca Juga: Kisah Paket yang Tak Sampai: Tenggelamnya Gerbang Kota Batavia
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR