Praktik ini di mata Daendels sama saja dengan gratifikasi yang mengganggu kepentingan negara. Maka agar mempertegas aturan tersebut, ia bahkan menerbitkannya dengan beberapa bahasa agar bisa dipatuhi banyak kalangan.
Pada sektor ekonomi, Daendels memberikan regulasi ketat mengenai ketepatan berat dan harga barang dagangan.
"Hal ini dilakukan karena Daendels menemukan manipulasi bobot komiditi hasil bumi," tulis Marihandono. "Misalnya di satu kabupaten di Priangan, petani menyerahkan kepada bupati sepikul kopi dengan bobot 250 pon, kemudian bupati menyerahkan kepada pejabat Eropa dengan bobot 140 pon sepikulnya."
Seiring dengan kebijakan tersebut Daendels juga melakukan pengawasan, dan instruksi kehati-hatian dalam penyerahan barang agar tak terjadi penyusutan. Kebijakan ini berlaku dari masyarakat, hingga pekerja di gudang-gudang barang dagang negara.
Tanah Jawa memiliki kekayaan alam yang besar yang dapat memicu eksploitasi ilegal oleh pejabat-pejabat Hindia Timur. Daendels memperbaiki kebijakan tentang perhutanan dan sumber daya alam yang harus dijaga dan dikelola oleh dinas kehutanan.
Ia juga memberi kode label pada hasil produk kehutanan supaya bisa mengetahui tindakan pembalakan liar. Semua regulasi yang dikeluarkan dari Daendels memiliki sanksi yang sangat berat untuk membuat jera.
"Jika terbongkar, mereka akan dihukum dengan denda, kehilangan jabatan, atau bahkan hukuman mati," tulis Marihandono. "Mereka yang kedapatan melakukan kecurangan senilai lebih dari 3 ribu ringgit atau setara dengan 1 bulan gaji Ketua Dewan Hindia (Raad van Indie) akan disidangkan dan dijatuhi hukuman mati dengan cara ditembak."
Daendels memang mengembangkan regulasi taktik pencegahan tindak korupsi, tetapi dia bukanlah malaikat dalam buku sejarah yang benar-benar bersih.
Sejarawan Bernard Hubertus Maria Vlekke, dalam Nusantara: A History of the East Indian Archipelago menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal Daendels, meskipun mengembangkan taktik pencegahan tindak korupsi, tapi justru ialah yang secara terang-terangan menyalahgunakan jabatan.
Vlekke menulis, bahwa Daendels telah merampas berbagai aset pemerintah kolonial seperti rumah peristirahatan di Bogor yang ia jual kepada gubernur jenderal setelahnya, Janssens, dengan keuntungan sebesar f900.000.
Kelemahan Daendels dalam regulasi anti korupsinya juga disebutkan oleh Peter Carey dalam Daendels dan Ruang Suci Jawa, bahwa perubahan yang dibawanya menjadikan Hindia Timur sebagai rechstaat (negara hukum) hanya menguntungkan kolonial, bukan untuk pribumi.
Melalui sistem tersebut, kelak akan menjadi pemicu Perang Jawa pada 1825 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Baca Juga: Kisah Paket yang Tak Sampai: Tenggelamnya Gerbang Kota Batavia
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR