“Jadi, hanya dalam waktu seabad, setidaknya di Jawa, roda kehidupan telah berputar satu putaran penuh,” terang Carey “Sebuah negara Apartheid telah didirikan berdasarkan masyarakat kolonial yang diatur secara rasialis.”
Fadly Rahman sejarawan Universitas Padjadjaran menulis dalam bukunya, Rijsttafel: Budaya Kuliner Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, bahwa diskriminasi sosial banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat sejak awal abad ke-19.
Rahman menulis rasa superior tersebut muncul karena bangsa Eropa merasa sebagai pelopor revolusi, modernisasi, dan sumber perkembangan industri yang pesat. Maka di tanah koloni, pribumi pada masa itu dianggap kurang memiliki pengetahuan.
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara
Sebab itulah, terdapat celah antara bangsa penguasa dan yang dikuasai, meskipun orang Belanda yang sudah lama menetap di tanah koloni bukan berasal dari lingkungan sosial tinggi di negara asal mereka.
“Oleh karenanya, mereka merasa perlu mengimbangi kenyataan tersebut dengan menonjolkan diri dan bertingkah laku seperti orang-orang Belanda kaya, tidak mau terkena pengaruh lingkungan hidup dan budaya pribumi,” tulis Rahman.
Awalnya, menurut Carey, peraturan tersebut bertujuan untuk mengatur tatanan sosial di tanah jajahan berdasarkan kelasnya, seperti orang Eropa yang menjadi pemerintah tingkat tinggi, orang Arab dan Tionghoa sebagai pedagang, dan pribumi sebagai bupati hingga budak.
Tetapi imbasnya menjadi tonggak awal rasisme, seksisme, dan xenofobia di sejumlah kalangan. Barulah sejak kebijakan politik etis berlaku di awal abad ke-20, kesadaran pribumi perlahan muncul atas ketimpangan tersebut. Mulailah pergerakan politik menuju kemerdekaan.
Pada 1942, kedatangan Jepang diikuti kumandang propaganda rasa kebangsaan sebagai orang Asia. Dampaknya, tatanan politik dan sosial yang berabad-abad dibentuk pun mengalami perubahan secara drastis.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR