Nationalgeographic.co.id—Melalui fiksi Bumi Manusia dan kisah dalam tetralogi Pulau Buru karangan Pramoedya Ananta Toer, muncul tokoh Minke. Dia merupakan tokoh utama dalam kisah itu, yang sering mendapatkan diskriminasi rasial. Seperti saat dirinya bersekolah di Hogereburger School, ia harus duduk di barisan bangku belakang bersama dengan rekan-rekan pribumi lainnya.
Digambarkan juga tentang Nyai Ontosoroh, seorang gundik yang harus menghadapi persidangan untuk hak asuh putrinya, Annelies. Persidangannya pun harus dilalui dengan tata cara peradilan yang merendahkan posisinya, dibandingkan hukum yang ditujukan kepada non-pribumi.
Baca Juga: Mengapa Tidak Ada yang Terkejut Bila Politisi Terlibat Skandal?
Hal yang umum pula pada kisah tersebut, baik pada novel atau filmnya, terpampang papan tulisan larangan maupun aturan lainnya untuk menolak pribumi dapat mengakses beberapa fasilitas di kota.
Begitulah gambaran masyarakat era kolonial yang menstratifikasi masyarakat berdasarkan warna kulit selaras dengan penjabaran Peter Carey dalam esainya, Brown Lives Matter: Living in the Shadow of Apartheid in post-colonial Indonesia, bahwa sistem tersebut lebih mirip rezim Apartheid di Afrika Selatan.
Namun, rasa superior ras itu tidak terjadi oleh bangsa Eropa di Nusantara saat awal kedatangannya, terutama Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada 1596. Sebab kedatangannya, ialah sekedar sebagai pedagang dan bukan penakluk.
Baca Juga: Mungkinkah Memasang Parasut pada Pesawat Supaya Penumpang Selamat?
“Mereka harus menggunakan akal agar bisa hidup. Seringkali ini berarti mempelajari bahasa-bahasa setempat yang sulit dan menyesuaikan diri dengan budaya setempat,” tulis Carey. Menurutnya, mawas mereka sebagai ras tertinggi di antara seluruh manusia justru terjadi pasca VOC bangkrut ketika Belanda memegang kendali kawasan Hindia Timur.
“Ya, jadi semua bermula ketika sistem politik Pax Neerlandica, berlaku dan merubah tatanan sosial lewat warna kulit dan gender,” terang Carey saat diwawancarai National Geographic Indonesia. “Dan perempuan pribumi diposisikan paling bawah.”
Carey menyebutkan bahwa sistem politik Pax Nederlandica muncul terutama masa Jawa bertekuk lutut pada Belanda pasca-Perang Dipanagara. Kemudian dengan disahkannya Regeeringsreglement (Peraturan Pemerintah) Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial pada 2 September 1854, dan menyebar ke penjuru Hindia Timur seiring tunduknya kerajaan-kesultanan di Nusantara.
Baca Juga: Peter Carey Ungkap Kedudukan Perempuan di Era Kesultanan di Nusantara
Peraturan tersebut mengelompokkan penduduk Hindia Belanda menjadi tiga kategori, yakni orang Eropa, Timur Asing (seperti orang Arab dan Tionghoa), dan Inlander atau pribumi.
“Jadi, hanya dalam waktu seabad, setidaknya di Jawa, roda kehidupan telah berputar satu putaran penuh,” terang Carey “Sebuah negara Apartheid telah didirikan berdasarkan masyarakat kolonial yang diatur secara rasialis.”
Fadly Rahman sejarawan Universitas Padjadjaran menulis dalam bukunya, Rijsttafel: Budaya Kuliner Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, bahwa diskriminasi sosial banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat sejak awal abad ke-19.
Rahman menulis rasa superior tersebut muncul karena bangsa Eropa merasa sebagai pelopor revolusi, modernisasi, dan sumber perkembangan industri yang pesat. Maka di tanah koloni, pribumi pada masa itu dianggap kurang memiliki pengetahuan.
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara
Sebab itulah, terdapat celah antara bangsa penguasa dan yang dikuasai, meskipun orang Belanda yang sudah lama menetap di tanah koloni bukan berasal dari lingkungan sosial tinggi di negara asal mereka.
“Oleh karenanya, mereka merasa perlu mengimbangi kenyataan tersebut dengan menonjolkan diri dan bertingkah laku seperti orang-orang Belanda kaya, tidak mau terkena pengaruh lingkungan hidup dan budaya pribumi,” tulis Rahman.
Awalnya, menurut Carey, peraturan tersebut bertujuan untuk mengatur tatanan sosial di tanah jajahan berdasarkan kelasnya, seperti orang Eropa yang menjadi pemerintah tingkat tinggi, orang Arab dan Tionghoa sebagai pedagang, dan pribumi sebagai bupati hingga budak.
Tetapi imbasnya menjadi tonggak awal rasisme, seksisme, dan xenofobia di sejumlah kalangan. Barulah sejak kebijakan politik etis berlaku di awal abad ke-20, kesadaran pribumi perlahan muncul atas ketimpangan tersebut. Mulailah pergerakan politik menuju kemerdekaan.
Pada 1942, kedatangan Jepang diikuti kumandang propaganda rasa kebangsaan sebagai orang Asia. Dampaknya, tatanan politik dan sosial yang berabad-abad dibentuk pun mengalami perubahan secara drastis.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR