“Woah, we're half way there
Woah, livin' on a prayer
Take my hand, we'll make it I swear”
Nationalgeographic.co.id—Rilis pada 1986, berjudul Livin’ on a Prayer karya Bon Jovi selalu menjadi musik andalan Fikri Aditya. Dia adalah mahasiswa asal Magelang, Jawa Tengah, yang menghadapi kondisi penuh ketidakpastian pada pagebluk ini. Lewat musik, ia selalu terkenang pada mendiang ayahnya yang pernah bernasihat bahwa hidup adalah harapan. Hingga kini, lantunan Bon Jovi itu selalu menjadi sumber semangatnya.
Saat dihubungi National Geographic Indonesia, ia menuturkan bahwa semenjak masa pagebluk, dia lebih sering memutar musik lawas daripada musik anyar. Band yang sering didengarnya kembali biasanya berasal dari 1980-an sampai 2000-an. Bernostalgia adalah alasan utamanya.
“Selain untuk nostalgia, alasannya ya musik-musiknya lebih kerasa kemampuan vokalnya juga. Daripada zaman sekarang yang apa-apa pakai autotune, jadi feelingnya masih ada,” ungkap Fikri.
Apa yang dirasakan Fikri juga sama dengan Gabriel Possenti, seorang barista di Kota Tangerang Selatan, Banten. Mereka memiliki alasan yang sama untuk mendengarkan lagu lawas saat pagebluk. Khususnya lagu Indonesia, Gabriel sering mendengarkan Borju dari NEO karena alasan yang sama.
Baca Juga: Para Ilmuwan Ini Ubah Virus Corona Menjadi Instrumen Musik Indah
“Kalau NEO saat masih kecil, bagi yang kenal lagu itu bisa dianggap keren banget gitu. [Lagu] Itu kan liriknya susah, jadi buat anak kecil pas zamannya, kalau bisa hapal dianggap jago, deh,” jelasnya pada National Geographic Indonesia. “Jadi masih ada rasa kangen dan kerennya sampai sekarang.”
Melansir kabar dari Guardian, aplikasi pemutar musik Spotify melaporkan bahwa ketika awal pagebluk, tepatnya pada April 2020, terdapat peningkatan 54 persen dari pengguna di seluruh dunia pada musik bertema nostalgia 50-an hingga 80-an.
Uniknya, Here Comes the Sun karya The Beatles drastis masuk dalam 200 musik daftar putar harian di Inggris. Padahal lagu itu di masa sebelumnya tidak masuk dalam daftar. Lagu dan menjadi musik era 60-an nomor satu teratas paling sering di putar selama 2020.
Hal ini juga dikonfirmasi Kevin Gore, direktur dari Warner Music Group dilansir dari harian Kompas. Dari hasil analisa perusahaannya, lagu-lagu lawas menjamur pada daftar putar orang-orang yang bekerja di rumah.
Baca Juga: Mengapa Orang Menggali City Pop Jepang dan Tergila-Gila Olehnya
Pada Agustus 2020, Timothy Yu-Cheong Yeung, peneliti dari Katholieke Universiteit Leuven, Belgia, terkesima pada kolom komentar lagu lawas Fake Plastic Trees karya Radiohead di YouTube. Sejak April 2020, video ini telah disukai oleh lebih dari 2.600 pengguna.
“Siapa yang mendengarkan lagu ini selama karantina Covid-19? :D,” tulis salah seorang pemirsa video klip itu.
Berkat komentar pendengar Radiohead itu, Timothy tergerak meneliti lagu-lagu lawas selama pagebluk. Ia menganalisa data pada hampir 17 triliun lagu yang diputar di enam negara lewat Spotify, dan pola penggunanya.
Dampak pagebluk dapat menyerang kesehatan mental, berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa PSBB atau lockdown menyebabkan stress beberapa orang. Dari segi psikologis, terdapat perubahan emosional dan membuat orang-orang memiliki perilaku konsumsinya, dalam hal ini jenis musik.
“Karena individu yang rasional itu mencari solusi untuk mengatasi tekanan psikologis yang merugikan,” tulis Yeung.
Musik sendiri merupakan cara yang relatif murah untuk meredakan dampak tekanan psikolgis. Ia menganggap kegiatan itu sebagai penawar stres dari ‘masa lalu yang indah’.
Baca Juga: Black Tuesday: Kehancuran Pasar Saham Terbesar Pada Tahun 1929
“Minat akan musik nostalgia tumbuh beriringan dengan frustasi karena pembatasan pergerakan yang terjadi,” tulis Yeung dalam publikasinya yang terbit 25 Agustus 2020. "Pembatasan pergerakan melibatkan banyak permintaan luar biasa yang membatasi kebebasan individu dan memengaruhi pekerjaan dan interaksi sosial yang biasa.
Yeung berujar, perubahan kebiasaan yang mengharuskan orang terbiasa di rumah dan tak kemana-mana telah menyebabkan emosi yang buruk. Maka orang-orang memilih larut ke dalam musik nostalgia untuk melarikan dirinya dari kenyataan. Meski belum tentu virus Covid-19 menyerang mereka secara langsung.
“Jika lagu lawas membuat mereka merasa lebih baik, mungkin karena lagu-lagu itu menjadi tandingan bagi rasa sedih mereka selama masa [pagebluk] yang luar biasa ini,” ungkapnya.
“Pusat perawatan, rumah sakit, pertokoan, dan ruang publik lainnya yang biasanya menyetel musik, mungkin perlu menyadari dampak positif jika memutarkan musik sebagai tandingan dampak buruk pagebluk,” sarannya.
Source | : | ResearchGate,Guardian,Harian Kompas |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR