Nationalgeographic.co.id—Apa mamalia besar asal Asia yang pertama kali dilukis oleh orang Eropa di daratan Eropa?
Jawabnya, badak bercula satu—asal India.
Badak itu dikirim dengan kapal bermuatan rempah-rempah dari habitat asalnya di India. Setelah empat bulan melayari Jalur Rempah menuju Eropa, pada Mei 1515 sang badak berjejak di Portugal. Orang Eropa tidak pernah melihat badak sebelumnya. Sejak zaman Romawi, mereka menganggap satwa bercula itu laksana adisatwa atau binatang mitos—seperti dongeng unicorn.
Salah satu seniman yang melukis badak dengan proporsi tepat adalah Albrecht Durer (1471 – 1528). Lelaki asal Jerman itu seorang pelukis, juru gambar, dan penulis yang brilian. Pada 1515 Durer berkesempatan melukis badak, yang begitu eksotis untuk ukuran orang Eropa. Lukisan badaknya begitu sohor sehingga menjadi inspirasi karya seniman lainnya.
“Durer belum pernah melihat badak asli, namun dia hanya mengandalkan deskripsi,” ungkap Werner Kraus. “Dia membuat lukisan badaknya dengan cula kecil di lehernya. Selama lebih dari dua abad kesalahan ini terulang kembali oleh hampir semua seniman Eropa.”
Kraus begitu berminat pada perkembangan seni modern di Indonesia. Dia menjabat sebagai Director of the Centre for Southeast Asian Art in Passau, Jerman. Kisah utama ini dinukil dari pemaparannya bertajuk Chinese Influence on Early Modern Indonesian Art? Hou Qua: A Chinese Painter in 19th-century Java yang terbit di Archipel pada 2005.
Baca Juga: Teh Tayu, Warisan Budaya Tionghoa Bangka yang Menggantikan Timah
Apa mamalia besar asal Jawa yang pertama kali diabadikan sebagai lukisan?
Jawabnya, badak bercula satu—di sekitar Batavia.
Seniman yang melukisnya adalah orang Cina yang bermukim di Batavia. Lukisan badak itu mengarah ke kanan bertajuk “Rhinoceros, Ein Nasenhorn. Javanisch Bada. Maleyisch Badack”.
Inilah lukisan cat air paling awal yang dibuat oleh orang Cina yang berjejak di Jawa. Kita bisa menyaksikan lukisan bersejarah itu berkat koleksi manuskrip milik Caspar Schmalkalden, yang tinggal di Hindia Timur antara 1646 dan 1651. Ia memberikan testimoni tentang lukisan cat air koleksinya: "Badak ini dilukis oleh pelukis Cina yang mengabadikan alam di Batavia."
Kraus mengungkapkan, “Pelukis Cina di Batavia itu pasti juga pernah melihat seekor badak asli. Dia kemungkinan besar melihat anak-anak badak yang terluka dan dibawa ke Batavia pada 1647.” Pendapat itu ada benarnya karena sang pelukis Cina tidak mengulangi kesalahan cula di leher yang dibuat Durer. Sayangnya, Schmalkalden tidak mencatat siapa nama pelukis misterius itu.
Namun, ada juga pelukis asal Cina yang beruntung karena namanya tercatat sejarah. Dia adalah Chinqua (Qinqua) dari Amoy—sehingga berjulukan Amoy Chinqua—yang melukis potret petinggi East India Company dan Wakil Gubernur Bengkulu 1712 - 1716, Joseph Colett.
Collet tiba di Fort York di Bengkulu pada 1712. Kemudian, dia diangkat sebagai wakil gubernur Bengkulu di bawah wewenang gubernur Madras. Pada 1714, ia membangun pertahanan baru bernama Fort Marlborough.
Baca Juga: Riwayat Perayaan Kue Bulan: Dari Dewi Chang'e Sampai Gus Dur
Belakangan, salah seorang pegawai di Fort Marlborough juga menggunakan jasa dari pelukis Cina. William Marsden (1754-1836) namanya. Setelah masa dinasnya usai, dia menulis buku bertajuk History of Sumatra yang terbit pada 1784. Marsden menguraikan segala aspek tentang Sumatra dari pemerintahan, hukum, flora dan fauna, hasil ala, organisasi sosial, agama, bahasa, dan semuanya tersusun berdasarkan kaidah ilmiah terkini. Kraus mengungkapkan, “Marsden memerintahkan beberapa pelukis Cina untuk melukis flora dan fauna Sumatra.”
Di samping itu Kraus menambahkan nama Josua van Jpern, yang tercatat menyebut pelukis Cina di Batavia. Sang seniman, menurut Josua, bertugas membuat beberapa gambar dan lukisan cat air baginya. Dia menyebutnya sebagai Hokki—mungkin yang dimaksud Hokkian.
Namun, karir sang pelukis itu tampaknya tidak mulus. Buktinya, sekretaris Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen, Friedrich Baron von Wurmb, mengeluh bahwa seniman Cina tidak dididik dalam pewarnaan dan teknik gelap-terang dalam tradisi seni lukis Eropa.
“Kami memiliki seorang Cina di sini, yang memiliki tangan yang sangat pintar dan mantap untuk menggambar dan yang mampu mereproduksi semua yang Anda tempatkan di depan matanya dengan sangat tepat,” tulis Friedrich Baron von Wurmb sebagai Sekretaris di lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen. “Tetapi terlepas dari semua kesulitan yang saya lakukan untuk mengajarinya dalam pewarnaan, dia tidak dapat mempertahankan kualitas lukisannya sendiri.”
Kraus mengungkapkan perkembangan pasar seni di Tiongkok, yang mempengaruhi persebaran seni Tiongkok ke penjuru dunia. Selama beberapa dekade awal pada abad ke-18, perdagangan Cina berkembang.
Baca Juga: Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya
“Seniman-seniman dari Makau dan Kanton memproduksi barang-barang untuk para pedagang dan awak berbagai ekspedisi perdagangan Eropa dan Amerika,” ungkap Kraus. Sebagai contoh furnitur, porselen, lukisan kaca, lukisan yang dibuat di kertas dan kanvas.”
Kraus menambahkan bahwa motor percepatan perkembangan seni para seniman Cina adalah keterlibatan Inggris dalam kepentingan perdagangan di Asia Tenggara. “Administrator dan naturalis Inggris mulai mengumpulkan informasi tentang budaya lokal dengan gaya nan agung,” imbuhnya. “Banyak ilustrator yang pandai diperlukan untuk membuat kumpulan besar data dasar Nusantara.”
Jalur rempah telah menautkan dunia timur dan barat, sekaligus mendorong pertukaran budaya dan kontribusinya dalam perkembangan seni dan sains—seperti lukisan botani atau rupa satwa. Lalu, bagaimana nasib badak india itu selanjutnya?
Raja Portugal berniat memberikan badak itu sebagai hadiah kepada Paus Medici Leo X di Roma, Italia. Dala perjalanan dari Lisbon ke Roma, badai menimpa kapal pengangkut dan seisinya. Kapal pecah dan badak yang tak kuasa berenang pun turut tenggelam di Januari 1516—bulan yang sama saat ia mulai berlayar meninggalkan India setahun sebelumnya.
Kabarnya, setelah bangkai badak yang malang itu ditemukan, kulitnya tetap dikirim ke Roma. Di sana, kulit itu diisi jerami sehingga jadilah boneka taksidermi untuk tontonan warga.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR