Nationalgeographic.co.id—Sebuah riset terbaru menemukan bahwa ganja medis ternyata ampuh menurunkan tekanan darah pada orang-orang lanjut usia atau lansia. Hasil riset yang laporannya telah diterbitkan di European Journal of Internal Medicine pada 20 Januari 2021 ini dibuat oleh para peneliti dari Ben-Gurion University of the Negev (BGU) dan Soroka University Medical Center di Israel.
Riset ini merupakan penelitian pertama yang berfokus pada penyelidikan terkait efek ganja terhadap tekanan darah, detak jantung, dan parameter-parameter metabolisme lainnya pada orang-orang dewasa penderita hipertensi atau tekanan darah tinggi yang berusia 60 tahun ke atas.
"Orang-orang lansia adalah kelompok pengguna ganja medis yang jumlahnya tumbuh paling cepat, namun bukti keamanan kardiovaskular untuk populasi ini masih langka," kata Dr. Ran Abuhasira dari Faculty of Health Sciences BGU, salah satu fakultas kedokteran terkemuka di Israel, seperti dikutip dari EurekAlert!.
"Studi ini adalah bagian dari upaya berkelanjutan kami untuk memberikan penelitian klinis tentang efek fisiologis aktual ganja dari waktu ke waktu," imbuh Abuhasira yang juga bergiat di BGU-Soroka Cannabis Clinical Research Institute.
Baca Juga: Studi Jelaskan Bagaimana Perubahan Iklim Memicu Pagebluk Covid-19
Dalam riset ini, para pasien dievaluasi menggunakan pemantauan tekanan darah rawat jalan 24 jam, elektrokardiogram (EKG), tes darah, dan pengukuran tubuh. Pengukuran dilakukan baik sebelum pasien memulai terapi ganja dan tiga bulan setelah menjalani terapi ganja.
Dalam riset ini para peneliti menemukan penurunan yang signifikan dalam nilai tekanan darah sistolik dan diastolik 24 jam, dengan titik terendah terjadi tiga jam setelah mengonsumsi ganja baik secara oral melalui ekstrak minyak atau dengan menghirup uapnya. Para pasien menunjukkan penurunan tekanan darah baik pada siang maupun malam hari, dengan perubahan yang lebih signifikan pada malam hari.
Para peneliti yang mengerjakan riset ini berteori bahwa menghilangkan rasa sakit, pengaruh ganja medis pada kebanyakan pasien, mungkin juga telah berkontribusi pada penurunan tekanan darah.
"Penelitian-penelitian ganja (di dunia) sedang dalam tahap awal dan BGU berada di garis depan dalam mengevaluasi penggunaan klinis berdasarkan studi ilmiah," kata Doug Seserman, kepala eksekutif American Associates, Ben-Gurion University of the Negev. "Studi baru ini adalah salah satu dari beberapa studi yang telah diterbitkan baru-baru ini oleh BGU tentang manfaat ganja untuk pengobatan."
Baca Juga: Paus yang Terdampar di Florida Ternyata Spesies Baru Terancam Punah
Riset-riset lain sebenarnya juga telah menunjukkan khasiat ganja medis. Hasil riset yang dipublikasikan di jurnal Neurology pada 2018 lalu misalnya menunjukkan bahwa bahan psikoaktif yang terkandung di dalam ganja, yaitu tetrahydrocannabinol (THC), ternyata mampu mengurangi rasa sakit pada para penderita nyeri radikuler.
Namun begitu, berbagai hasil riset positif ini tak serta merta bisa membuat penggunaan ganja untuk keperluan medis menjadi legal di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Di negara ini, ganja masih masuk kategori narkotika yang tidak bisa dipakai untuk keperluan medis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 35 Tahun 2009.
Kasus Fidelis Ari Sudarwoto, seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, yang dipenjara sejak 19 Februari hingga 16 November 2017 akibat menanam ganja sempat menjadi perhatian publik nasional dan memicu pro-kontra terkait status ganja yang mutlak ilegal di Indonesia. Fidelis menanam ganja di rumahnya untuk ia berikan kepada istrinya, Yeni Riawati, yang menderita Syringomyelia, penyakit langka yang menyerang sumsum tulang belakang dan menimbulkan rasa sakit tak terkira.
Sejak diberikan ganja oleh Fidelis, Yeni merasakan sakit yang ia derita berkurang dan perkembangan kondisi fisiknya makin membaik. Akan tetapi semenjak Fidelis ditahan oleh pihak kepolisian dan Yeni tak lagi diberi ganja sebagai pereda sakitnya, kondisi Yeni jadi kian memburuk dan akhirnya meninggal.
Baca Juga: Alih Fungsi Hutan Jadi Kebun Sawit Bikin Suhu Indonesia Makin Panas
Berdasarkan catatan sejarah, ganja sebenarnya telah banyak digunakan sejak zaman prasejarah. Laporan dari Barney Warf, misalnya, memberikan gambaran mengenai sejarah dan penyebaran ganja. Dalam laporannya, profesor geografi di University of Kansas di Lawrence itu menjelaskan bagaimana penggunaan ganja di Asia ribuan tahun lalu, dan sejak saat itu menemukan jalannya ke seluruh pelosok dunia.
"Ganja lebih banyak dipakai sebagai obat dan tujuan spiritual pada era pramodern," kata Warf. "Misalnya, suku Viking dan Jerman kuno memanfaatkan ganja untuk meredakan sakit saat melahirkan dan sakit gigi."
"Gagasan mengenai ganja adalah obat berbahaya (narkoba) adalah pemikiran yang baru-baru ini dibangun," dan fakta bahwa ganja diilegalkan merupakan suatu "anomali sejarah". Warf menegaskan, ganja sudah legal di berbagai daerah karena sejarahnya.
Source | : | eurekalert.org,National Geographic,European Journal of Internal Medicine |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR