Baca Juga: Studi Jelaskan Bagaimana Perubahan Iklim Memicu Pagebluk Covid-19
Dalam riset ini, para pasien dievaluasi menggunakan pemantauan tekanan darah rawat jalan 24 jam, elektrokardiogram (EKG), tes darah, dan pengukuran tubuh. Pengukuran dilakukan baik sebelum pasien memulai terapi ganja dan tiga bulan setelah menjalani terapi ganja.
Dalam riset ini para peneliti menemukan penurunan yang signifikan dalam nilai tekanan darah sistolik dan diastolik 24 jam, dengan titik terendah terjadi tiga jam setelah mengonsumsi ganja baik secara oral melalui ekstrak minyak atau dengan menghirup uapnya. Para pasien menunjukkan penurunan tekanan darah baik pada siang maupun malam hari, dengan perubahan yang lebih signifikan pada malam hari.
Para peneliti yang mengerjakan riset ini berteori bahwa menghilangkan rasa sakit, pengaruh ganja medis pada kebanyakan pasien, mungkin juga telah berkontribusi pada penurunan tekanan darah.
"Penelitian-penelitian ganja (di dunia) sedang dalam tahap awal dan BGU berada di garis depan dalam mengevaluasi penggunaan klinis berdasarkan studi ilmiah," kata Doug Seserman, kepala eksekutif American Associates, Ben-Gurion University of the Negev. "Studi baru ini adalah salah satu dari beberapa studi yang telah diterbitkan baru-baru ini oleh BGU tentang manfaat ganja untuk pengobatan."
Baca Juga: Paus yang Terdampar di Florida Ternyata Spesies Baru Terancam Punah
Riset-riset lain sebenarnya juga telah menunjukkan khasiat ganja medis. Hasil riset yang dipublikasikan di jurnal Neurology pada 2018 lalu misalnya menunjukkan bahwa bahan psikoaktif yang terkandung di dalam ganja, yaitu tetrahydrocannabinol (THC), ternyata mampu mengurangi rasa sakit pada para penderita nyeri radikuler.
Namun begitu, berbagai hasil riset positif ini tak serta merta bisa membuat penggunaan ganja untuk keperluan medis menjadi legal di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Di negara ini, ganja masih masuk kategori narkotika yang tidak bisa dipakai untuk keperluan medis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 35 Tahun 2009.
Kasus Fidelis Ari Sudarwoto, seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, yang dipenjara sejak 19 Februari hingga 16 November 2017 akibat menanam ganja sempat menjadi perhatian publik nasional dan memicu pro-kontra terkait status ganja yang mutlak ilegal di Indonesia. Fidelis menanam ganja di rumahnya untuk ia berikan kepada istrinya, Yeni Riawati, yang menderita Syringomyelia, penyakit langka yang menyerang sumsum tulang belakang dan menimbulkan rasa sakit tak terkira.
Sejak diberikan ganja oleh Fidelis, Yeni merasakan sakit yang ia derita berkurang dan perkembangan kondisi fisiknya makin membaik. Akan tetapi semenjak Fidelis ditahan oleh pihak kepolisian dan Yeni tak lagi diberi ganja sebagai pereda sakitnya, kondisi Yeni jadi kian memburuk dan akhirnya meninggal.
Baca Juga: Alih Fungsi Hutan Jadi Kebun Sawit Bikin Suhu Indonesia Makin Panas
Source | : | eurekalert.org,National Geographic,European Journal of Internal Medicine |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR