Pramugi Prawiro Wijoyo, pengikut Samin dari Sambongrejo, Blora berbagi kisah kepada National Geographic Indonesia tentang diskriminasi terhadap masyarakat Sedulur Sikep.
Saat masa G30S 1965, pihak militer mendatangi kediaman masyarakat Samin di Sambongrejo.
"Karena apa yang kami hayati belum dianggap kepercayaan, kami dikira PKI, mas," kenangnya. "Kami dipaksa sholat, karena kalau enggak yo dikiranya PKI terus ditangkep. Tapi setelah diberi kejelasan, yang mendatangi kami bisa paham kalau kami ini Sedulur Sikep, dan enggak ada hubungannya dengan partai."
Karena mereka yang memegang teguh pada Kejawen, mereka kerap mendapat intimidasi hingga kini sebagai ajaran sesat. Intimidasi lainnya juga muncul lewat istilah "nyamin" oleh masyarakat sekitar yang bermakna negatif, atas sifat yang menyerupai orang Sedulur Sikep yang terlalu berterus terang.
"Kami enggak peduli orang menganggap kami apa. Agamaku Adam. Walaupun belum diadopsi oleh pemerintah, enggak masalah, mau diadopsi apa enggak itu wewenang beliau (penguasa)."
"Percuma yang dikomentari agamanya bagus-bagus tapi orangnya malah jelek," Pramugi terkekeh.
Dilansir dari Tempo.co, sejak 2012 pemerintah Jawa Tengah berencana agar kolom agama di KTP masyarakat Sedulur Sikep dapat diisi sebagai 'Kepercayaan'. Meski ini dianggap sebagai langkah awal yang baik oleh mereka, kebijakan ini dinilai kurang memuaskan.
"Yang dianggap cuma enam agama. Kong Hu Cu, Buddha, Kristen, Katolik, Islam, dan Hindu. Lah agamaku mana? Katanya Bhinneka Tunggal Ika, tapi agamaku cuma dianggap kepercayaan," protes Pramugi.
Menentang pabrik semen.
Meski dihadang cap buruk kepada mereka, bukan berarti sikap kritis mereka berhenti. Masyarakat Sedulur Sikep yang mayoritas berpegang teguh sebagai petani juga melakukan perlawanan dan memprotes kebijakan.
Salah satunya adalah masyarakat Sedulur Sikep di Rembang dan Pati yang menolak pembangunan pabrik semen di Rembang dan Pati selama 2014 hingga 2015.
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR