Haryadi Permana, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI yang setelah itu saya temui di Bandung menjelaskan, Matano adalah danau yang terbentuk akibat pergerakan sesar yang saling bergesekan, hingga detik ini.
“Danau ini seperti disobek dan ambles karena sesarnya bergerak,” ungkapnya sambil meniru pergerakan sesar dengan kedua lengannya. Bagian utara danau bergeser ke kiri, sementara bagian selatan bergerak ke kanan sekaligus menariknya ke bawah.
“Matano bukanlah danau yang simetris. Di satu sisi, dia memiliki kedalaman hingga 700 meter,” lanjutnya. Titik dasar danau ini bahkan melebihi permukaan laut yang mengelilingi pulau tempatnya bersemayam. Layaklah jika Matano mendapat titel danau terdalam keenam di dunia.
Matano hanya sebagian kecil dari daya tarik Pulau Sulawesi yang menjadi magnet bagi para peneliti geologi serta biologi karena karakteristiknya, yang bisa ditelusuri hingga puluhan juta tahun silam. Pada kala Paleosen, sekitar 60 juta tahun yang lalu, sebuah dataran memanjang mulai memecahkan diri dari sisi timur Kalimantan.
Kini, bagian itu telah menjelma menjadi sebagian dari Pulau Sulawesi. Tepatnya Sulawesi terselatan, hingga sekitar Kota Masamba yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah.
Jika dari Masamba perjalanan diteruskan ke arah timur hingga tiba di kompleks danau-danau di Malili termasuk Matano, kita telah berjalan di atas batuan dengan zona berbeda. Puluhan juta tahun silam, daratan ini muncul dari dalam laut akibat penujaman lempeng bumi di bagian selatan.
Baca Juga: Temuan Terkini Peradaban Transisi di Danau Matano: Ketika Zaman Neolitik Berjumpa Zaman Besi
Lima belas juta tahun yang lalu, Pulau Buton di tenggara Sulawesi merupakan bagian dari kepala burung Papua, melarikan diri bersama kumpulan pulau yang kita kenal kini dengan nama Kepulauan Banggai, di lengan bawah Provinsi Sulawesi Tengah.
Manado terletak di daratan yang lahir akibat penujaman lempeng di bagian utara garis Khatulistiwa, dalam kisaran waktu sama dan pernah bersisian dengan Pulau Luzon, Filipina, sekitar 45 juta tahun silam. Hal-hal di atas belumlah cukup untuk memaparkan daftar panjang keunikan lanskap pulau ini.
Hingga kini, Sulawesi masih bersengkelit di bawah tekanan lempeng-lempeng raksasa: Eurasia, Indo-Australia, serta Lempeng Pasifik. Belum lagi sesar atau patahan yang menggores sekujur tubuhnya.
“Tabrakan sesar menghasilkan pegunungan tinggi, sampai 3.000 meter di atas permukaan laut,” ujar Haryadi. Akibatnya, pulau yang selalu resah ini memiliki bentang alam yang sangat ekstrem, dengan celah serta lembah yang amat dalam dan sempit.
Saya pun teringat pada suatu siang yang cerah pada Agustus 2002, saat meninggalkan Kota Makale, Tana Toraja. Kelokan-kelokan tajam mengantarkan saya melewati rangkaian Pegunungan Rantemario, tertinggi di Sulawesi Selatan yang puncaknya dikerubuti kabut. Selepas daerah Rapang saya bisa merasa lega, karena perjalanan tak lagi mengocok isi perut.
Menurut cerita-cerita Bugis masa lalu, di sekitar daerah ini dahulu pernah terdapat jalur air, yang membuat mereka mampu berlayar dari Selat Makassar menuju Teluk Bone. Jalur air itu kini hanya menyisakan Danau Tempe serta Danau Sidenreng.
Jika Jatna Supriatna—ahli konservasi dan dewan pakar majalah ini—mencurigai adanya rawa di daerah itu, Haryadi menduga hal lain. “Jika melihat karakteristik arus di Selat Makassar yang deras bahkan hingga sekarang, bisa jadi selat yang dulu ada ini juga dialiri air yang deras pula,” paparnya sambil meneliti peta geologi melalui proyektor di layar di kantornya.
Apa konsekuensi dari keadaan Sulawesi yang unik ini terhadap makhluk hidup yang ada di permukaanya? Pada 2003, Jatna Supriatna serta Ben J. Evans memublikasikan jurnal ilmiah mereka tentang garis batas pembeda makaka serta kodok di seantero Sulawesi, berdasarkan penelitian DNA mitokondria.
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR