Hasilnya, enam garis berhasil mereka tarik sebagai pembatas antarspesies dua satwa tersebut. Jatna menyatakan, banyak publikasi yang menggambarkan makaka datang dari barat, saat daratan Kalimantan dan Sulawesi hanya terpisahkan oleh celah sempit—menurut Haryadi sekitar 20 ribu tahun silam.
“Hal yang amat menarik adalah, diferensiasi makaka di Sulawesi ini terjadi begitu cepat,” Jatna mengemukakan rasa penasarannya. “Makaka yang ada di Sumatra dan Jawa kan sama, Macaca fascicularis, bahkan sampai Bali, hanya ada perbedaan genetis. Sementara di sini, hanya beda beberapa kilometer saja kita sudah menemukan spesies yang berbeda,” lanjutnya sambil mengetuk-ketukkan jari telunjuknya di atas peta Sulawesi.
Januari tahun lalu, saya mengunjungi lengan utara Sulawesi, tepatnya Bitung, sebuah daerah yang menghadap ke arah Laut Banda. Fakta berada di atas lapisan kompleks bebatuan yang masih muda ini semakin terasa saat dari kejauhan, kawanan Macaca nigra berambut hitam kadang bagai lenyap disarukan oleh pasir pantai yang tak kalah legamnya.
Amat berbeda dengan Macaca maura di selatan pulau, yang warnanya lebih muda dan hidup di atas batuan yang datang dari era yang lebih tua. Jatna berteori bahwa Sungai Dumoga adalah pembatas antarspesies Macaca nigra di bagian utara dan Macaca nigrescens, si tetangganya. Haryadi mendukung pendapat ini dari sisi kegunungapian.
“Gunung Soputan dan Lokon lumayan aktif. Jika sekarang saja hampir setiap tahun ada embusan asap, mungkin sepuluh ribu atau dua puluh ribu tahun yang lalu, lebih aktif lagi,” ungkapnya.
Di kantor geoteknologi lipi, saya dan Haryadi terus menelusuri garis-garis pembatas yang dipaparkan dalam penelitian Jatna dan Evans. Selain aliran air serta gunung api, Haryadi juga menemukan garis batas tepat di atas sesar, yang sama dengan pembentuk Matano.
“Satwa sangatlah sensitif. Gempa dua atau tiga skala Richter bisa mereka rasakan. Bisa jadi mereka menjauhi pusat geseran itu,” duganya.
Sulawesi dengan kerumitan serta keunikannya memang masih menyimpan berjuta misteri yang masih harus dipecahkan oleh para peneliti. Morfologi pulau ini menjadikan satwa di atasnya memiliki endemisitas tinggi dengan hitungan jarak yang dekat.
Bahkan, menurut Jatna, keberagaman spesies tarsius dibatasi hanya oleh ketinggian yang berbeda. “Sulawesi adalah salah satu dari tiga tempat yang amat menarik bagi penelitian biologi di dunia, selain Madagaskar dan Galapagos,” ungkapnya.
Menurutnya, diperlukan penelitian yang terus berkesinambungan selama puluhan tahun untuk memahami pulau nan unik ini. Tak heran jika beberapa peneliti luar negeri bersikukuh mendirikan stasiun riset selama berdekade-dekade di tanah Sulawesi. Suatu hal yang hingga kini masih sebatas cita-cita bagi peneliti di dalam negeri sendiri karena terbatasnya aliran dana penelitian.
Feature "Nusa Nan Resah" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Mei 2013
Megathrust Bisa Meledak Kapan Saja, Tas Ini Bisa Jadi Penentu Hidup dan Mati Anda
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR