Nationalgeographic.co.id—Awan putih memayungi tajuk hutan Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, Sulawesi Utara. Di tengah suasana hutan yang hening, pohon-pohon rao (Dracontomelon dao) yang kokoh dengan akarnya yang pipih meroket angkuh ke langit. Tiba-tiba teriakan monyet hitam sulawesi—penduduk lokal menyebutnya kera hitam atau yaki—memenuhi hutan.
Detik itu juga, puluhan yaki berhamburan ke arah pantai dengan panik. Yaki kecil meloncat ke pelukan induk sembari berlari, sementara yaki muda berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Di barisan paling akhir, pemandangan unik tampil menutup adegan: seekor yaki muda berlari limbung menggunakan dua kakinya, berhati-hati menjaga agar mangga ranum yang sedang ia nikmati tak terlepas dari tangannya.
Tak lama kemudian, di belakang mereka muncul seorang lelaki dari balik pepohonan. Ia mengenakan baju kutung, memperlihatkan lengannya yang kekar. Tangan kirinya menggenggam katapel dengan karet pelontar berwarna jingga mencolok mata. Sambil mengatapelkan batu ke arah tanah dan batang pohon, ia tertawa saat melihat saya. Ya, seperti biasa, Ferdy Martin Dalentang, lelaki itu, berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik.
Peran Ferdy sehari-hari memang menghalau para primata penyandang nama latin Macaca nigra, yang tergabung dalam sebuah kelompok bernama Rambo II. Kelompok ini terdiri dari 60 individu: 7 jantan dewasa, 18 betina dewasa, dan sisanya adalah anak-anak berusia hingga sekitar empat tahun. Wilayah jelajah harian mereka dan permukiman penduduk yang terletak di bagian barat TWA hanya dibatasi oleh sungai kecil yang bermuara di Laut Maluku.
Di bawah penugasan Macaca Nigra Project, sebuah proyek kerja sama antara German Primate Centre, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Sam Ratulangi, Ferdy menjaga kelompok ini agar tidak menyambangi kebun penduduk.
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR