PADA JANUARI YANG BASAH lalu, saya dan fotografer Reynold Sumayku duduk beralas ponco, memunggungi pantai hitam dengan deburan ombak yang kadang menggetarkan gendang telinga. Di depan kami membentang lahan terbuka, kira-kira seluas lapangan voli. Di sinilah para yaki terbiasa menghabiskan waktu untuk menyelisik serta bermain. Kami berdiam diri di antara gemerisik dedaunan, hingga seekor yaki melintas di hadapan kami. Ia naik ke sebuah batang pohon, lalu mengamati keadaan sekitar. Seekor yaki menyusulnya, kemudian mereka pun menghilang ditelan hutan.
Tak berapa lama kemudian, pohon mulai berayun di kejauhan, awalnya hanya sebuah, semakin lama semakin banyak. Dalam sekejap, apa yang tampak sebagai gumpalan-gumpalan berwarna hitam mulai keluar dari kerapatan vegetasi.
Sekitar lima menit setelah itu, dedaunan kering yang bertabur di lantai hutan berhamburan di depan mata. Sekitar delapan pasang yaki muda sibuk bermain, bergumul sambil menyeringai dan menggigit. Mereka saling berbenturan kemudian bertukar pasangan, berkejaran sambil membuat gerakan berputar di udara, juga bersalto. Seekor yaki mungil sibuk mempermainkan daun saat yaki dengan badan lebih besar berlari dan menubruknya sampai terguling-guling.
Di sisi lain, dua yaki sibuk mengerubuti yaki yang lebih kecil: Seekor menarik tangan kirinya, sedangkan yang lain menarik kaki kanannya sebelum yaki keempat meloncat ke dalam pergulatan.cAda pula yang tiba-tiba menjambak rambut di kepala temannya, lalu melarikan diri. Kadang mereka berkejaran dari dahan yang satu ke dahan lain, dan berakhir dengan bunyi gedebuk di tanah.
Saat saya sibuk memperhatikan apa yang terjadi, seekor yaki jantan dewasa yang diberi nama Kiting Junior oleh para peneliti menghampiri. Ia memperhatikan tas, kompas, serta buku catatan di atas ponco, sambil mengecapkan bibirnya kepada saya, tanda pertemanan.
Baca Juga: Sekelompok Primata Diduga Telah Berlayar dari Benua Afrika ke Amerika
Kemudian apa yang saya anggap sebagai pergulatan serius terjadi. Dua yaki berkejaran, mengeluarkan suara lengking yang nyaring. Mereka berlari ke arah pantai, membuat yaki lain berhenti bermain dan mengikuti arah suara. Pergumulan seperti ini kerap terjadi kala mereka bersantai. Kadang berakhir dengan pelukan, lalu saling mengecapkan bibir dengan cepat. Saat santai seperti ini adalah waktu yang paling tepat bagi yaki muda untuk melatih keterampilan serta kekuatan, sebagai bekal masa depannya.
SAYA TERINGAT PERCAKAPAN dengan Jatna Supriatna, seorang ahli primata Indonesia. Namanya selalu tercantum dan menjadi rujukan dalam situs IUCN—organisasi internasional dalam bidang konservasi lingkungan—terkait status spesies makaka yang hidup di daratan Sulawesi mulai dari utara hingga selatan.
“Perilaku berkelompok pada primata memang sangat menarik. Makaka salah satu contohnya. Sama dengan manusia, kelompok itu punya struktur tertentu,” ungkap Jatna. Menurut penelitian bersama timnya, ada delapan spesies makaka endemik yang menghuni Sulawesi. Macaca nigra hidup mulai dari ujung tanduk Sulawesi Utara, hingga ke Sungai Onggak Dumoga, pembatas geografis dengan spesies tetangganya,Macaca nigrescensdi bagian barat.
Sama seperti manusia yang punya sistem hierarki dalam kehidupannya, yaki yang menganut sistem multi male multi female dalam kelompoknya ini hidup dengan struktur serupa. Kepemimpinan tertinggi ada pada individu yang disebut peneliti sebagai alpha male. Sedangkan individu jantan yang menduduki peringkat kedua dan ketiga dinamakan beta male, gamma male, dan seterusnya. Peringkat seperti ini juga berlaku pada yaki betina.
Dalam pergaulannya sehari-hari, sang alpha male tidak akan sembarang bergaul dengan yaki lain. Ia memiliki lingkar pergaulan yang umumnya terdiri dari jantan beta dan gamma, juga alpha female. Jantan dari peringkat tinggi ini tidak akan mau hidup dekat dengan individu yang peringkat jauh lebih rendah di bawahnya.
PADA PUKUL 13.48, di tengah kicauan burung kadalan sulawesi (Phaenicophaeus calyorhynchus), arakan awan kelabu kembali membendung sorotan matahari dalam sebuah area berpohon jarang di kawasan TWA. Para individu dalam kelompok Rambo II bertebaran di sana-sini dengan malasnya. Di balik sebuah batang pohon kecil yang telah mati, tiga ekor yaki tampak tak peduli dengan keberadaan kami.
Si yaki muda sedang asyik mengamati barisan semut merah di ujung batang. Sesekali dicomotnya serangga itu dan dimasukkan ke dalam mulut. Kadang ia terlompat sambil menggosokkan badannya dengan tangan. Mungkin ia tergigit. Di sebelahnya sepasang yaki dewasa sedang tekun menyelisik. Sang jantan menyorongkan badan dan si betina sibuk menyibaki rambut di dadanya.
Tak lama, si betina meninggalkan sang jantan yang ternyata hanya memiliki tiga jari di tangan kirinya. Inilah sang alpha male yang bernama Jati, singkatan dari Jari Tiga. Jati kehilangan jemarinya karena terkena jerat ayam hutan yang dipasang oleh penduduk saat ia masih kecil.
Kami hanya berada sekitar satu setengah meter darinya. Ia memang punya karisma sebagai yaki nomor satu dalam kelompok ini.
Rambutnya tampak lebih sehat dan berkilau dibanding jantan lainnya. “Warna bantalan tungging alpha male biasanya lebih cerah, akibat hormon dengan tingkat stres yang lebih rendah karena ia tidak diancam oleh jantan lain,” ujar Giyarto, manajer riset Macaca Nigra Project. Berbeda dengan Kiting Junior yang tampak selalu ingin tahu dan mendekat setiap ada kesempatan, Jati hanya memandang kami sebelah mata. Tatapannya tajam mengamati kelompoknya serta daerah sekitar—kecuali kami—dengan dagu terangkat tinggi-tinggi.
Jantan yang belum genap setahun menjadi alpha male ini jarang terlihat ada di tengah kelompok. Saya pernah mengikutinya saat ia mencari makan sendirian di barisan paling depan, sementara kelompoknya masih bergerombol jauh di belakang.
“Seekor alpha male memang harus sendirian,” ujar Jatna menjawab gambaran keadaan Jati yang seolah dijauhi oleh kelompoknya. “Dia harus dominan. Kalau pada manusia, ya dia harus jaim agar berbeda dari yang lain dan bisa diakui sebagai alpha male di kelompoknya. Kalau dia ada di tengah, justru rentan karena dengan mudah dia akan diserang oleh beta dan gamma male,” Jatna menjelaskan. Salah satu tugas alpha male adalah mengawasi keadaan. Baik dalam kelompoknya sendiri maupun kelompok lain saat bersinggungan.
Di belakang Pos Satu atau dekat dengan pintu penjaga TWA, sistem hierarki yang dimaksudkan Jatna terlihat jelas. Selain si angkuh Jati, Rawing adalah jantan penting di dalam kelompok. Ia merupakan beta male, yaki peringkat kedua.
Sepanjang hari, setiap kali kami mendekati sekumpulan betina dewasa dan anak-anak dengan tingkah polah mereka yang lucu, Rawing akan selalu beringsut maju kemudian duduk mendekat, seolah hendak memperingati kami untuk menjaga jarak dengan mereka. Menurut Giyarto, Jantan dewasa yang satu ini memang seolah memiliki tugas untuk menjaga anak-anak dan betina dalam kelompok. Kadang Rawing duduk sendirian di atas akar layaknya manusia, sambil mengawasi kami dengan matanya yang tajam.
Baca Juga: Populasi Monyet Pembawa Virus Herpes Meningkat, Apa Dampaknya?
Tak berapa lama, suara mangga menumbuk tanah terdengar di sana sini. Juga buah kelapa yang terjun dari ketinggian sekitar tiga puluh meter. Waktunya makan sore sebelum menuju ke pohon tidur seperti nantu (Palaquium amboinense) atau coro (Ficus variegata). Tiba-tiba, terdengar gemuruh tetesan air yang mendera dedaunan. Hujan! Gumpalan-gumpalan hitam terlihat berjejeran menghiasi dahan tempat mereka berteduh di atas sana.
Di dasar hutan, tetesan hujan semakin jarang saat tiba-tiba Rawing yang ada di depan kami mengeluarkan suara agresif saat menghadapi Perot, jantan tingkat rendah di sampingnya. Merasa terancam, Perot justru mengintimidasi yaki lain bernama Wartabone. “Itu biasa terjadi. Jika jantan tingkat atas mengancam tingkat di bawahnya, tingkat bawah ini akan kembali mengancam tingkat di bawahnya lagi. Dan jika tingkat terendah ini tak memiliki bawahan untuk diancam, bisa jadi manusia yang ada di dekatnya jadi sasaran berikutnya,” ujar Giyarto sambil mengamati ketiga jantan dewasa ini dengan saksama. Wartabone pun menyingkir dan memunggungi Perot, hingga air yang tercurah dari langit kembali bertambah deras.
Keesokan harinya, saya bertemu dengan Ugura. Yaki betina yang memiliki peringkat nomor satu dalam kelompok Rambo II atau sang alpha female ini memiliki perilaku yang sedikit sadis terhadap anak-anak yaki yang ada di sekelilingnya. Giyarto bercerita kepada saya, Ugura pernah berlari sambil memegang kaki yaki mungil dan menyeretnya. Di hadapan saya, dua kali Ugura menekan badan seekor bayi yaki ke tanah selama sekitar lima detik hingga berteriak kemudian lari ke sang induk.
Inilah salah satu yang disebut Jatna sebagai perilaku survival karena persaingan. Jika jantan harus berjuang untuk menjadikan dirinya sebagai alpha male, betina kelak menjadi alpha female berdasarkan garis darah atau keturunan. Suatu saat nanti anak-anak Ugura akan menggantikannya dan sejak dini Ugura sudah mulai menekan anak-anak lain agar tak mengancam kedudukan anaknya kelak.
Perebutan kekuasaan dalam dunia yaki juga mirip dengan kita, manusia. Seekor yaki harus pandai berkolaborasi dengan rekan-rekannya agar kedudukannya bisa naik. Ia juga harus pintar memperhitungkan dengan siapa ia bekerja sama. “Hal ini sangat rumit karena ada perhitungan untung rugi, sama seperti manusia,” papar Jatna. “Seekor yaki akan memperhitungkan betul, siapa yang harus ia dekati agar bisa mencapai struktur hierarki yang lebih tinggi. Namun, seringnya hal ini ditempuh dengan berkelahi.”
Yaki jantan yang tertekan karena tak pernah bisa memenangkan persaingan dengan jantan lain bisa mengubah perilaku seksualnya. “Daripada dikalahkan terus oleh jantan lain, perilakunya jadi seperti betina. Itu disebut dengan gay, dan memang ada dalam dunia primata,” ungkapnya. Ia akan berbaur dengan para betina dan ikut mengasuh anak-anak.
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR