“Bu, saya salah membuat rumah di tempat ini?” ujar Tuti menirukan pertanyaan seorang simbah, panggilan untuk pinisepuh, di dusun itu. Tepat di bawah rumah sang simbah yang diinapi oleh para peneliti saat melakukan ekskavasi, terserak situs Candi Palgading. Simbah merasa bersalah, karena mendirikan rumah di atas situs.
Di depan rumah simbah terdapat lahan yang dikelilingi pagar, yang lebih tinggi sedikit dari lelaki dewasa. Lahan yang sebagian areanya telah diekskavasi itu luasnya kira-kira setara dengan empat buah lapangan bulutangkis. Di dalamnya bergeletakan batuan candi di satu sisi, termasuk pucuk stupa yang kelilingnya hampir sepelukan dua orang dewasa.
Di sisi lainnya, terdapat susunan batu -batu percobaan yang membentuk pelataran candi. Di sana sini terdapat lubang-lubang penggalian yang menampakkan sebagian struktur kaki serta pagar candi.
Pembebasan lahan milik warga menjadi salah satu tantangan yang harus dijalankan oleh BPCB DIY dalam upaya mengonservasi candi secara maksimal. Tuti menjelaskan, bahwa penggalian di situs Palgading ini untuk sementara terpaksa dihentikan, karena sulitnya melakukan pembebasan tanah yang kepemilikannya berbeda-beda dalam lahan situs tersebut.
“Tanahnya itu belinya sedikit demi sedikit dan seringkali nilai jualnya mahal karena mereka mengira kita investor yang akan membangun sesuatu di situ,” ungkapnya. Persoalan pembebasan tanah itu pula yang menjadi salah satu kendala di Candi Ijo, candi tertinggi di Yogyakarta.
Baru saja mendaki dan duduk di tangga candi induk yang menghadap ke barat, melindungi diri dari sinar mentari pagi yang menyorot amat kuat, saya tersihir pada lanskap yang hadir di hadapan. Bisa jadi hal yang sama ada di benak para penguasa pada zaman dahulu kala, saat memutuskan untuk membangun candi di sini.
Terletak 350 meter di atas permukaan laut, di depan candi induk, berdiri tiga candi perwara berlatar langit bertabur mega putih bergumpal gumpal. Nun jauh di bawah sana, di kaki cakrawala, terhampar lanskap kota Yogyakarta, dipagari pegunungan yang menjadi batas daerah di arah barat daya. Landasan Bandara Adisucipto terlihat amat jelas dari sini.
Bagai tak kenal takut, para staf BPCB DIY berdiri melakukan penilikan di atap candi. Mida, seorang ahli konservasi yang cekatan, sibuk hilir mudik di halaman candi yang hijau segar. Tangannya memegang lembaran catatan. Ia bertanggung jawab menentukan perawatan yang harus dilakukan terhadap kondisi yang kini dialami oleh candi.
“Candi ijo adalah candi paling tinggi. Candinya minimal ada 13,” ungkap Tuti. Semuanya tersebar di 11 teras yang tersusun menuruni bukit di Dusun Groyokan, Kabupaten Sleman. Baru ada lima candi yang utuh berdiri: Candi utama yang saya duduki tangganya, memiliki ketinggian 16 meter. Sedangkan tiga candi perwara di hadapan saya memiliki tinggi sekitar 6 meter. Batuan candi lainnya masih berserakan di teras, atau membentuk pelataran.
Candi yang terakhir didirikan, ada di teras yang lebih rendah dari kompleks candi utama. Di dekat candi berjendela ini, tanaman liar masih tumbuh lebat, bisa jadi menyembunyikan bebatuan lain di bawah permukaan tanahnya. Baru sebagian misteri nenek moyang ini yang berhasil dikuak, lagi-lagi karena terkait soal pembebasan tanah.
Candi Hindu yang diperkirakan dibangun pada 850-900 Masehi yaitu masa Rakai Pikatan dan Rakai Kayuwangi ini memiliki perjalanan yang amat panjang dalam pendiriannya kembali. Menurut keterangan BPCB DIY, Dinas Purbakala memulai penelitian pada 1958. Tiga puluh sembilan tahun kemudian, pemugaran candi induk berhasil dilakukan. Sementara candi perwara dipugar tepat 10 tahun lalu.
Kecantikan pemandangan yang mengelilingi situs ini membuat saya betah berlama-lama berdiam diri. Saat senja, penduduk sekitar ramai mengunjungi tempat ini. Hanya untuk menunggui tenggelamnya sang mentari di batas langit. Kemolekan yang justru bisa berbalik mengancam keberadaan candi itu sendiri.
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR