Nationalgeographic.co.id—Dusun ini sunyi. Sengat mentari sudah tak lagi terasa di kulit. Mata saya mencari objek yang tertera di papan penunjuk tepi jalan. Namun di depan mata hanya ada rumah, sawah, dan rumah. Saya mulai terbiasa. Kali ini pasti sama seperti yang sebelumnya: ia bersembunyi di relung tanah entah di mana.
Saya turuti langkah Sri Muryantini Romawati, yang biasa dipanggil Anti, seorang staf Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY). Ia mengiringi saya menelusuri kala lampau di kota ini. Masa di mana para arsitek ulung piawai menyusun potongan batu yang saling mengunci satu sama lain dengan pahatan uniknya, menjadikannya tempat untuk melayangkan doa di tengah ancaman gempa dan gunung api.
Akhirnya saya melihatnya. Di balik sawah, berpagar kawat duri dan berpintu gerbang bergembok. Candi Gampingan yang terdiri dari delapan lapis batu putih ini tak lagi berbadan dan beratap. Di setiap sisi kaki candi yang tersisa, saya menikmati tiga adegan relief: dua relief katak, yang mengapit satu relief burung.
Sembilan tahun silam, Sarjono, warga Dusun Gampingan, menggali lahan ini. Niatnya adalah membuat batu bata. Namun, ia menemukan salah satu batuan candi. Walau kini hanya tampak tiga sisa struktur bangunan, sejatinya ada tujuh bangunan di situs itu. Bebatuan yang lain lari entah ke mana, dilahap lahar vulkanis yang menimbun sekitar 1,2 meter dalamnya.
Mengapa candi Buddha yang diperkirakan dibangun pada abad kesembilan Masehi diisi oleh relief satwa? Untuk apa candi ini didirikan? Di manakah sisa bebatuannya? Tentu saya tak mendapatkan semua jawabannya. Mereka ditelan waktu, setidaknya 1.200 tahun silam.
Candi-candi berserakan di bawah lapisan tanah Yogyakarta dan sekitarnya, terkubur oleh rangkaian erupsi ancala nan megah yang menjulang di utara: sang Merapi.
Salah satu candi bersemayam sedalam delapan meter di Dusun Kedulan akibat letusannya yang terhebat pada sekitar tahun 1006. Persembunyian yang berjarak 25 kilometer dari gunung itu terkuak 21 tahun silam, saat penambang pasir melakukan penggalian. Ekskavasi pun dilakukan di warsa yang sama.
Tahun lalu, saat melewati pagar Candi Kedulan untuk pertama kalinya, saya menjumpai sebuah cekungan besar. Hampir seluas lapangan bola. Tiga orang penduduk terlihat sibuk dengan jorannya masing-masing. Di hadapan mereka terdapat gundukan tanah. Di sana, duduklah sisa-sisa candi induk yang sebagian kakinya terendam air. Saat musim hujan datang, air Sungai Werang yang mengalir di sebelah barat naik permukaannya, mengubah situs tersebut menjadi sebuah kolam pemancingan bagi warga.
Saat saya bertandang kembali awal Mei silam, airnya telah surut. Inilah salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh BPCB DIY dalam merawat benda cagar budaya: Saat batu candi terendam air, penggaraman meninggalkan endapan putih yang mengeras saat kemarau.
Upaya penyelamatan bangunan Candi Kedulan tentu dilakukan. Di bagian barat cekungan, jauh dari ancaman air, saya menjumpai beberapa kelompok batuan yang telah tersusun apik: badan serta beberapa lapis atap candi, di tempat yang berbeda-beda.
Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan BPCB DIY, Wahyu Astuti, berkisah di ruangannya yang dipenuhi foto candi. Situs Kedulan dengan keutuhan batuannya, menjadi tempat yang baik untuk mempelajari teknologi bangunan masa silam. “Batuan Kedulan itu semua masih orisinal,” ungkapnya. Berbeda dengan beberapa candi yang menggunakan batuan pengganti agar bisa tegak kembali menentang langit.
Tuti pernah menyelenggarakan program minat khusus bagi pelajar SMA di candi itu. Situs ini menjadi tempat pembelajaran, mulai dari ekskavasi, hingga anastilosis atau susun coba struktur bangunan. Kini, program bernama Kemah Budaya dijalankan setiap tahun, diikuti oleh pramuka. Salah satu kegiatannya adalah kegiatan konservasi benda cagar budaya.
Ayam masih riuh berkokok, di sela cahaya yang jatuh miring menerobos sela-sela batang bambu. Udara masih segar. Beberapa orang bersepeda melewati jalanan dusun. Saya berdiri di pekarangan, yang dikelilingi rumah-rumah beranyam bambu di Dusun Palgading. Di depan sepatu saya, terdapat batu hijau berselimut lumut. Saya meraba daunnya, mencoba merasakan tekstur di bawahnya. Sebuah batu berpahat cantik membentuk zigzag sepanjang hampir tiga jengkal. Bagian dari candi.
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR