Sebagian peninggalan itu diletakkan di sebuah rumah di Dusun Liyangan. Untuk melihat peninggalan itu, kami harus berpanjang lebar menjelaskan siapa kami kepada Ari, salah seorang staf dari BCPB Jateng yang beraut muka tegas. Ia mengoperasikan ekskavator siang itu, membuang sisa tanah di dekat situs. Setelah memastikan bahwa kami sudah mendapatkan izin dari tempatnya bekerja, barulah ia bersedia menemani kami melihat peninggalan yang tersimpan rapi di balik kaca terkunci.
Kekhawatiran Ari, juga Budiyono, bukanlah tanpa alasan. Lingga yang terdapat di atas yoni yang kini terletak di atas salah satu dari tiga pelataran, hilang dalam hitungan hari setelah ditemukan. Hal yang membuat kedua orang itu—terutama Ari— sangat geram, dan mewaspadai setiap orang yang datang. Kini, petugas pengamanan berganti-ganti mengawasi aktivitas para penambang, juga pengunjung.
Senja telah tiba. Saya berdiri di sebuah area di bukit nan tinggi, bernama Sumberwatu. Di utara, terhampar lanskap Yogyakarta yang disaput sinar senja. Candi Prambanan dan Candi Sojiwan dengan sosoknya yang kelam, muncul dari keriuhan permukiman kota.
“Dulu di sini kandang sapi,” kenang Dwi Oblo, sang fotografer yang juga lulusan bidang studi arkeologi, sambil menunjuk ke suatu arah. Ia akrab dengan daerah ini, tempat kegemarannya mengabadikan kedua candi tersebut dari ketinggian. Sebelumnya ia tak pernah tahu, bahwa di bawah tanah tempatnya memotret, terpendam bebatuan sebuah stupa, yang kini berdiri tegak di samping kami.
Namun tim BPCB DIY tahu. Mereka sengaja membiarkan situs itu tak tersentuh untuk sementara karena lahan itu merupakan tanah kas desa, yang dalam Permendagri tahun 2007, adalah tanah yang tak boleh dilepas hak kepemilikannya kepada pihak lain, kecuali untuk kepentingan umum.
Kini di area yang diapit jalan membentuk huruf U itu, suara lenguhan sapi telah digantikan oleh riuhnya pembangunan. Enam meter dari stupa, tanah dibiarkan begitu saja. Tetapi di belakang saya, sekitar 11 meter jaraknya, dibangun undakan yang rencananya akan dijadikan tempat duduk pengunjung. Mereka akan menonton pertunjukan yang nantinya akan dipentaskan di depan mereka, menurut keterangan salah seorang pekerja di sana.
Sebuah rumah santap telah berdiri tak jauh dari bangunan kuno itu. Sekitar 15 meter di sisi barat, menjulang dinding-dinding bangunan penginapan berlantai dua yang sedang dikerjakan, siap dibuka akhir tahun ini.
Tuti pernah berkata, “Menurut saya, saat ini persoalan cagar budaya lebih cenderung pada urusan perut.” Sementara itu, para ahli konservasi sendiri berlomba dengan para pengembang. Kini, semua akan kembali kepada penduduk yang hidup di atas peninggalan simbah mereka, simbah yang pernah hidup dalam kejayaan masa lalu, yang peninggalannya masih berserakan di dalam tanah dan menyimpan miliaran misteri.
Feature "Candi-Candi yang Terpinggirkan" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Juli 2014
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR