Nationalgeographic.co.id—Memahami rantai evolusi genetika memiliki banyak manfaatnya, seperti mengetahui asal manusia berada di suatu lokasi geografis, hingga pemahaman penyakit yang dibawanya.
Fokus studi genetik sebagian besar dilakukan pada populasi keturunan Eropa, masih sedikit yang kita ketahui terkait rantai itu pada populasi lainnya, terutama di kepulauan Pasifik.
Maka, sejumlah ilmuwan Institut Pasteur, College de France, dan CNRS membuatnya dan menerbitkan hasilnya di jurnal Nature, Rabu (14/04/2021).
Lantas bagaimana kisah penyebaran genetika manusia di kepulauan Pasifik?
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang disebut dengan teori Out-of-Taiwan, ketika manusia pertama kali meninggalkan Afrika, mereka sudah menetap di kawasan Oseania yang dekat dengan Asia.
Baca Juga: Menguak Alasan Migrasi Pelayaran Manusia ke Kepulauan Terpencil
Kawasan itu seperti Pulau Papua, Kepulauan Bismarck, dan Kepulauan Solomon yang dihuni sekitar 45.000 tahun yang lalu. Sedangkan wilayah Pasifik lainnya—mereka menyebutnya sebagai Oseania Terpencil—seperti Vanuatu, Kepulauan Futuna, Polinesia, dan semakin ke timur berangsur-angsur baru 5.000 tahun yang lalu lewat ekspansi Austronesia, demikian menurut penelitian sebelumnya.
Perluasan itu diperkirakan para ilmuwan melalui penlayaran melewati Filipina, Indonesia, dan pulau-pulau yang sebelumnya telah dihuni. Austronesia ini muncul dari arah kepulauan Asia itu setelah sebelumnya meninggalkan Taiwan.
Perjalanan ke kawasan-kawasan terpencil inilah, nenek moyang populasi Pasifik Selatan bertemu dengan kelompok manusia purba yang sudah menetap, dan kawin campur.
Baca Juga: Mengapa Sepanjang Jalur Sutra Bisa Menyebarkan Pagebluk Antarbenua?
Kawin campur ini akhirnya membuat karakteristik populasi di Pasifik bercampur antara gen Neanderthal dan Denisovann. Diperkirakan, 2 hingga 3% genomnya diwarisi dari Neanderhtal—gen yang umum dimilikai populasi di luar Afrika. Sedangkan Denisovan—kerabat Neanderthal dari Asia—hanya sekitar 3 persen.
Namun studi yang dilakukan Etienne Patin dan tim menentang teori Out-of-Taiwan itu karena tempo penyebarannya sangat cepat. Meski manusia sudah meninggalkan Taiwan, kawin campur itu baru ada 2.000 tahun kemudian.
Alasannya, mereka membutuhkan fase 'pematangan' di Filipina atau Indonesia. Kemudian, pelayaran mereka relatif jarang dilakukan bila merujuk pada periode diperkirakan teori itu.
Patin dan timnya mengulik asal-usul masyarakat genetika populasi di Pasifik dengan sekuensi genom pada 320 individu dari Taiwan, Filipina, Kepulauan Bismarck, Kepulauan Solomon, Kepulauan Santa Cruz, dan Vanuatu.
Yang membuat para ilmuwan itu terkejut, dilansir dari rilis Instut Pasteur, bahwa warisan Denisovan hampir 0% di Taiwan dan Filipina. Gen warisan itu baru signifikan 3,2% di populasi papua Nugini dan Vanuatu.
Sedangkan Neanderthal sendiri hanya sekitar 2,5%. Temuan ini berbeda dengan ungkapan gen Neanderthal-Denisovan sebelumnya.
Meski demikian, pencampuran dengan Neanderthal ini memberikan mutasi pada populasi masyarakat Pasifik pada fenotipenya seperti pigmentasi kulit, metabolisme, dan perkembangan syaraf.
Baca Juga: Inovasi Penelitian Genetik dari Kloning Musang Berkaki Hitam di AS
Kemampuan gen yang diwariskan Denisovan sendiri berpengaruh pada respon imun saat ini, seperti reservoir mutasi yang menguntungkan. Reservoisr mutasi ini menguntungkan mereka untuk meningkatkan kemampuan bertahan hidup dari patogen lokal.
Kelebihan ini bukan terjadi pada sekali atau dua kali generasi kawin campur. Dalam laporan itu, para ilmuwan mengungkapkan, hal itu menunjukkan Denisovan yang kawin campur dengan masyarakat Pasifik adalah populasi yang sangat beragam.
Patin dan tim berpendapat, percampuran kuno juga berdampak pada adaptasi masyarakat di Oseania dari segi metabolisme seperti kolesterol, yang membantu mereka melewati seleksi alam.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR