Saat ini, Barus merupakan kota kecil di pesisir Sumatra bagian barat, menghadap ke Samudra Hindia. Bagaimanapun, pada masa lalu, agaknya Barus kerap pula digunakan untuk menyebut Sumatra bagian utara secara umum.
Raja Sriwijaya pada awal abad kedelapan (mungkin Sri Indrawarman, penerus Dapunta Hyang Sri Jayanasa) dalam suratnya kepada penguasa Dunia Arab menyebutkan bahwa negerinya adalah tanah yang ditumbuhi pohon bahan kapur barus. Sang maharaja menyebutkan, keharuman kapur barus tercium hingga “bermil-mil”.
Chau Jukua yang menulis Chu-fan-chi atau Negeri-negeri Barbar di Laut Selatan pada abad ke-13 menyebut bahwa kamper berasal dari P’o-ni (Kalimantan) dan Pin-su (Barus). Chau-jukua sekaligus melakukan koreksi. “Laporan-laporan umum bahwa kamper ditemukan di San-fo-tsi (nama lain Sriwijaya—red) merupakan kesalahan. Sebenarnya, negeri ini merupakan titik perhentian pada jalur lalu-lintas komoditas dari semua bangsa. Produk-produk dari negeri-negeri lain distop di sana, disimpan ke dalam gudang untuk diperdagangkan dengan produk-produk negeri asing,” tulis Chau Jukua.
Laporan Chau Jukua menegaskan bahwa pelabuhan Sriwijaya adalah tempat bertemunya aneka komoditas dari berbagai tempat dan negeri. Kapur barus mungkin dibawa ke pelabuhan itu, sama saja apakah Barus merupakan salah satu pelabuhan dalam jaringan Sriwijaya atau tidak. Bagaimanapun, pada masa sekarang, mencari pohon kamper di daerah Barus dapat dikatakan suatu hal yang nyaris mustahil.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR