Oleh Reynold Sumayku
Nationalgeographic.co.id—Pertanyaan paling kerap dilontarkan mengenai Sriwijaya adalah, “Di mana ibu kotanya?” “Di mana istananya?”
Meskipun sebagian besar ilmuwan menyepakati Palembang sebagai pusat Sriwijaya pada periode awal, perdebatan tentang letak ibu kota kerajaan ini selalu muncul. Sebabnya, hingga sekarang belum ditemukan sisa-sisa reruntuhan yang merupakan istana atau keraton Sriwijaya.
Mengenai peluang terjadinya penemuan keraton Sriwijaya, para ahli menyatakan kemungkinannya tipis sekali. “Permukiman Sriwijaya dibuat dengan konsep mendesa,” jelas Nurhadi Rangkuti, Kepala Balai Arkeologi Palembang. “Rumah-rumah dibangun dengan bahan kayu dan bambu berupa rumah panggung atau rumah terapung,” lanjutnya.
Alasannya, lokasi permukiman berada di tepian Sungai Musi yang terkadang meluap. Dataran di wilayah Palembang pada masa silam juga banyak berupa rawa. Hanya bangunan keagamaan yang dibangun oleh Sriwijaya dengan bahan bata merah, mengingat lokasinya berada di tempat yang tinggi.
Biksu I-Tsing, dalam catatannya yang dibuat menjelang akhir abad ketujuh, menyebut kapur barus sebagai salah satu produk andalan Shih-li-fo-shih—sebutannya untuk Sriwijaya. Kapur barus, atau kamper, menurut para ahli sejarah bahkan memang sudah dikenal oleh bangsa-bangsa Timur Tengah jauh sebelum berdirinya Sriwijaya. Mungkin sejak awal-awal Masehi atau bahkan jauh sebelumnya.
Pada abad keenam, seorang dokter Yunani yang berdiam di Mesopotamia menyebut tentang kamper dalam salah satu catatannya. Kemudian, pada paruh pertama abad ketujuh ketika pasukan Arab merebut Istana Chosroes II di tepi Sungai Tigris, juga ditemukan tempayan-tempayan yang penuh berisi kamper. Benda asing itu semula disangka garam.
Di negeri asal Biksu I-Tsing yakni Cina, pada paruh pertama abad keenam juga disebutkan mengenai kamper. Lebih menarik lagi, karena penyebutannya adalah “kamper Po-lu”. Po-lu merupakan salah satu nama tempat yang kerap diasosiasikan dengan Barus di Sumatra.
Selain “Po-lu” (yang juga pernah disamakan dengan Perlak), beberapa nama lain yang pernah dilekatkan kepada Barus pada masa Sriwijaya antara lain Lang-po-lu-si (dalam Hsin-Tang-shu atau sejarah baru Dinasti Tang), Pin-su, dan Fansur. Nama yang terakhir ini merupakan penyebutan versi bangsa Arab.
Baca Juga: Selisih Shih-Li-Fo-Shih: Teka-teki Sriwijaya yang Tak Berkesudahan
Saat ini, Barus merupakan kota kecil di pesisir Sumatra bagian barat, menghadap ke Samudra Hindia. Bagaimanapun, pada masa lalu, agaknya Barus kerap pula digunakan untuk menyebut Sumatra bagian utara secara umum.
Raja Sriwijaya pada awal abad kedelapan (mungkin Sri Indrawarman, penerus Dapunta Hyang Sri Jayanasa) dalam suratnya kepada penguasa Dunia Arab menyebutkan bahwa negerinya adalah tanah yang ditumbuhi pohon bahan kapur barus. Sang maharaja menyebutkan, keharuman kapur barus tercium hingga “bermil-mil”.
Chau Jukua yang menulis Chu-fan-chi atau Negeri-negeri Barbar di Laut Selatan pada abad ke-13 menyebut bahwa kamper berasal dari P’o-ni (Kalimantan) dan Pin-su (Barus). Chau-jukua sekaligus melakukan koreksi. “Laporan-laporan umum bahwa kamper ditemukan di San-fo-tsi (nama lain Sriwijaya—red) merupakan kesalahan. Sebenarnya, negeri ini merupakan titik perhentian pada jalur lalu-lintas komoditas dari semua bangsa. Produk-produk dari negeri-negeri lain distop di sana, disimpan ke dalam gudang untuk diperdagangkan dengan produk-produk negeri asing,” tulis Chau Jukua.
Laporan Chau Jukua menegaskan bahwa pelabuhan Sriwijaya adalah tempat bertemunya aneka komoditas dari berbagai tempat dan negeri. Kapur barus mungkin dibawa ke pelabuhan itu, sama saja apakah Barus merupakan salah satu pelabuhan dalam jaringan Sriwijaya atau tidak. Bagaimanapun, pada masa sekarang, mencari pohon kamper di daerah Barus dapat dikatakan suatu hal yang nyaris mustahil.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR