Cerita dan foto oleh Feri Latief
Nationalgeographic.co.id—Rombongan tetua adat dari tiga suku—Amatun, Amanuban, dan Mollo—berjalan beriringan melewati rute yang membelah hutan pohon Ampupu. Pada sebuah batu mereka berkumpul. Salah seorang tetua adat memimpin ritual, meletakkan perhiasan dan selembar kertas bertuliskan sumpah adat di atas batu itu. Lalu, dimulailah ritual adat: Tetua adat berdiri, lalu berdoa memohon agar sumpah adat dikabulkan. Itulah acara terpenting dari Festival Ningkam Haumeni di Perbukitan Mollo, Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada beberapa waktu lalu.
Esok harinya, giliran masyarakat adat menghadiri festival dan mengucapkan sumpah itu. Mereka—berjumlah ratusan—berikrar melestarikan alam. Mereka tak akan berburu di hutan, tak akan merusak lingkungan, tak akan menebang pohon.
Trauma kerusakan lingkungan akibat ketamakan perusahaan tambang masih membekas di benak mereka. Saat batu-batu karst itu ditambang, kekeringan dan tanah longsor pun melanda. Mereka tidak ingin hal itu terjadi lagi. Sumpah tersebut juga menggerakkan mereka untuk kembali menanam pohon cendana yang mulai punah dan menjaga madu di hutan-hutan.
Baca Juga: Koin Kuno Spanyol dan Kisah Rempah Wangi Cendana di Pulau Timor
Secara harfiah, Ningkam Haumeni berarti lilin madu dan kayu cendana. Festival ini digelar di Bukit Naususu—artinya, ibu yang menyusui anak. Masyarakat setempat menyebut dengan nama demikian karena di kaki bukit batu ini terdapat mata air jernih.
Dahulu, bukit batu ini ditambang oleh para pendatang. Masyarakat setempat yang terdiri dari tiga suku kemudian bergerak untuk menghentikannya. Dipimpin oleh Mama Aleta Baun, kaum ibu yang berjumlah ratusan mendatangi tambang itu dan mulai menenun di sana. Akhirnya, pertambangan itu berhenti beroperasi.
Baca Juga: Rempah Timor: Dari Kronik Cina Sampai Kedatangan Penjelajahan Eropa
Untuk mengenang peristiwa kemenangan kaum ibu itu dibuatlah acara tahunan Festival Ningkam Haumeni. Tahun ini adalah pergelaran yang ketiga kalinya. Agenda festival diisi sajian musik dan tari tradisional. Sambil bergembira, mereka bertukar ilmu dan berbagi pengalaman mulai dari menenun kain, berbagi bibit tanaman pangan, sampai bergotong-royong membangun rumah adat.
Di Bukit Naususu masyarakat setempat dari tiga suku berkumpul dan berikrar. Hawa dingin di Pegunungan Mutis seolah turut mengembuskan sumpah adat ke desa-desa sekitarnya. Di Naususu pula, masyarakat adat tiga suku memberdayakan diri, menjaga alam, dan mewariskan budaya lestari. Teladan bagi generasi-generasi selanjutnya.
Baca Juga: Upaya Atasi Kekurangan Gizi dengan Memanfaatkan Panganan Lokal
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR