Dia berjualan mi sejak 1994. Pada masa itu, konflik bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tengah berlangsung.Konflik bersenjata di Aceh berakhir dengan ditandatanganinya kesepakatan Helsinki pada tahun 2005. Selain mengakhiri konflik, kesepakatan ini juga turut melahirkan undang-undang tentang Pemerintahan Aceh.
Simpang Lhong Raya tempatnya berjualan belumlah seperti saat ini.Jalan masih berupa jalan kampung. “Belum ada Stadion Lhong Raya yang besar itu, bahkan ruko dimana warung berada saat ini masih merupakan sawah. Pembangunan berjalan cepat. Tsunami merubah segalanya,” katanya.
Pelebaran jalan dan pembangunan stadion terjadi pasca-tsunami 2004. Pada masa itu, hiruk pikuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh membawa dampak baik bagi usaha Bang Adi.
“Berjualan mi seperti bermain bola, harus ada kerjasama.Tak mungkin saya berjualan tanpa kerjasama,” kata Bang Adi.
Masa ini merupakan masa-masa emas dimana banyak uang yang masuk ke Aceh sehingga pembangunan berjalan cepat.Pada masa itu pula, lanjutnya, terjadi lompatan luar biasa karena konflik bersenjata juga berakhir.Masyarakat memiliki keleluasaan dalam memajukan pembangunan, sekaligus dapat menentukan arah perekonomiannya sendiri di Aceh.
“Pembangunan dan arah ekonomi, keduanya mesti berjalan seimbang.Tak ada arti keduanya bila tak melibatkan orang-orang kecil seperti saya,” katanya.
Di lain sisi, ketertarikan pengunjung menurut dugaan saya juga disebabkan lantaran Bang Adi masih mempertahankan cara masak dengan menggunakan arang. Tiga kuali besar dengan tungku memanjang berada tepat di depan kedai. Saya memerhatikan beberapa kali dia mengingatkan Zulkarnaen, adiknya untuk memasukkan arang ke dalam tungku.
Baca Juga: Benarkah Tsunami Aceh Telah Diramalkan Dalam Manuskrip Kuno?
Beberapa pelanggan datang memesan.Sebegian besar mereka adalah orang-orang yang mencari santap siang. Di pojok dekat dengan etalase minuman, serombongan anak muda asik bercengkarama. Tak seperti kebanyakan warung di Banda Aceh, warung ini tak dilengkapi dengan sinyal WiFi, membuatnya menjadi tempat yang dikhususkan untuk menikmati selera asli. Hanya sebuah tivi 21 inchi tersangkut di dinding bekalang, itupun tak banyak pengunjung yang menonton.
“Berjualan mi seperti bermain bola, harus ada kerjasama.Tak mungkin saya berjualan tanpa kerjasama. Mi dan bahan-bahan lainnya di dapat dari mitra yang sejak zaman dulu memasok kebutuhan saya,” kata Bang Adi.
Dia memperoleh mi dari perusahaan pembuat mi yang berlokasi tak jauh dari tempatnya berjaualan. Sekitar 120 kilogram mi dihabiskan setiap hari.“Perusahaan pembuat mi paham betul kebutuhan kami.Jadi mereka turut menjaga kualitas mi.kami saling menjaga kepecayaan,” imbuhnya.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR