Kepercayaan bagi Bang Adi adalah hal terpenting dalam berbisnis. Demikina pula dia menjaga kepercayaan pelanggannya dengan tetap mempertahankan cita rasa yang asli.
Di etalase, saya melihat seonggok besar tomat. Berbeda dengan tomat yang pernah saya lihat selama ini. Tomat ini berbentuk bulat dengan lekukan persis bagian dalam isi buah manggis, didominasi warna hijau dan oranye.
Menurut bang Adi, dia mempertahankan penggunaan tomat jenis ini. Cita rasanya sedikit lebih asam. Sulit menemukan tomat jenis ini di pasar karena cepat membusuk dan tak laku. Dia mendapatkan tomat itu dari petani dekat dengan rumahnya di kawasan Aceh Besar, Kuta Baro. Para petani mengantarkan langsung tomat-tomat itu ke rumahnya.
Baca Juga: Laksamana Malahayati, Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman
Menarik, dia mengisahkan bagaimana sulitnya mendapatkan tomat jenis ini. Tak habis akal, sekitar tahun 2000-an, Bang Adi mulai membagi-bagikan benih tomat kepada petani. Benih itu berkembang hingga sekarang. Namun karena di pasaran harganya murah, tomat jenis ini hanya banyak digunakan untuk konsumsi sendiri.
“Saya berupaya agar tomat ini tidak punah. Kalau punah, selain usaha kami terancam, petani juga tak dapat lagi menikmati tomat murah yang rasanya unik,” imbuhnya.
Dalam hati saya menyetujui Bang Adi. Saya masih berkeyakinan, mi aceh akan terus bertahan dengan rasa aslinya selagi masih ada orang-orang yang mau berpikir. Mereka adalah orang-orang yang tidak merelakan cita rasa kulinernya diserahkan pada pabrik pembuat makanan kemasan.
Kisah ini pernah terbit di laman National Geographic Indonesia berjudul Mempertahankan Rasa Asli Mi Aceh pada Juli 2016.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR