Cerita oleh Syafrizaldi
Nationalgeographic.co.id—Aroma bumbu yang tajam membuat jakun saya naik turun. Aroma menusuk hidung itu telah memenjara indera penciuman. Sementara, mata saya melotot memandang sepiring mi, lengkap dengan kepiting matang yang seolah tengah berenang-renang di dalam kuah merah kecokelatan. Capit sang kepiting bagaikan melambai agar segera disantap, disekitarnya mi bewarna kuning pucat sedang menari-nari.
Pada akhirnya, saya menyerah. Seujung sendok kuah mi merayap di lidah. Rasanya agak pedas, tapi asin dan asamnya menggigit. Kuah itu berbalur dengan rasa rempah yang kentara.Tak lengkap bersantap mi aceh tanpa acar bawang merah. Dalam piring terpisah, acar begitu menggoda dengan warna bawang yang masih segar.
Saya mencoba meneteskan seulas jeruk nipis, kini rasa asamnya semakin kuat. Nikmatnya di dalam mulut semakin sempurna saat mi berbaur dengan daging kepiting.
Baca Juga: Pocut Meurah Intan, Perempuan Tangguh Aceh yang Diasingkan ke Blora
Bang Adi, yang nama sejatinya Tarmizi, menatap saya dari ujung etalase di dapurnya, memperlihatkan senyum dan kumisnya yang tertata rapi.
Saya mengacungkan dua jempol.
Mi aceh memang kaya dengan rasa. Tak heran bila banyak pejalan yang datang ke Aceh mewajibkan diri menyicip kuliner yang satu ini. Kemashurannya bahkan sampai ke manca negera ketika sekelompok anak muda asal Perancis, Fransoa Superstar menyebut-nyebut mi aceh dalam lirik lagunya.
“Saya racik bumbu sendiri. Ayah mengajarkan saya meracik bumbu hampir dua puluhlima tahun yang lalu. Sampai kini, tak ada yang berubah.Saya tetap mempertahankan rasa. Bila tidak, mungkin pelanggan akan beralih ke tempat lain. Itu rasanya seperti membuang barang berharga,” kata Bang Adi memulai obrolan kami.
Bumbu racikan sendiri baginya merupakan sesuatu yang harus dipertahankan, sesuatu yang berharga. Bumbu adalah pusaka yang sejatinya menjadi identitas yang tak tergantikan.
Baca Juga: Menyingkap Waktu Tsunami Aceh dari Catatan Alam di Gua Euk Leuntie
“Bumbu dari Aceh pasti dominan asam, pedas dan asin.Beda lagi dengan Minang, pasti dominan pedas.Nah, Jawa kan lebih ke rasa manis. Selera pelanggan beda-beda juga,” jelasnya. Mi aceh dan bumbu rempahnya yang kaya melambangkan keanekaragaman budaya masyarakatnya—Melayu, Arab, Cina, India. Pun, para pelanggannya berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang budaya.
“Kita menghargai perbedaan itu, namanya juga Indonesia,” tandasnya.
Rasa asli mi aceh mestinya dapat dipertahankan. Namun di banyak tempat, justru racikan bumbu sudah menjadi dominasi penjual bumbu di pasar-pasar. Saya kerap menikmati mi dengan cita rasa yang itu-itu saja. Tetapi, sepiring mi buatan Bang Adi menyadarkan saya akan kekayaan intelektual para peracik bumbu.
Sesungguhnya, jenis bumbu yang dia racik tak banyak yang berbeda. Di dalamnya sudah lumat bawang merah dan bawang putih, udang basah, jahe, cabe merah, garam dan rempah lainnya.Dugaan saya hanya takaran yang membuat cita rasa mi buatannya menjadi berbeda.
Dapur yang sengaja diletakkan di bagian depan warung itu seperti mengeluarkan suara ketukan perkusi. Saya menikmati suara logam atau botol kaca yang berbenturan, ditingkah suara tumisan yang terdengar seperti suara simbal. Tak ada nada maupun harmoni irama, tapi gaya memasak seperti ini tentunya didapat dari pengalaman yang panjang. Meriah.
Dia mengisahkan bagaimana warung mi miliknya berkembang dari sekadar pedagang kaki lima hingga menguasai empat petak rumah toko di kawasan simpang Lhong Raya, Banda Aceh ini. Dia menggantikan ayahnya yang sudah tua, karena itulah warung itu dinamai "Mie Ayah".
Baca Juga: Pesona Lada Aceh, dari Ottoman hingga Eropa Barat
Dia berjualan mi sejak 1994. Pada masa itu, konflik bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tengah berlangsung.Konflik bersenjata di Aceh berakhir dengan ditandatanganinya kesepakatan Helsinki pada tahun 2005. Selain mengakhiri konflik, kesepakatan ini juga turut melahirkan undang-undang tentang Pemerintahan Aceh.
Simpang Lhong Raya tempatnya berjualan belumlah seperti saat ini.Jalan masih berupa jalan kampung. “Belum ada Stadion Lhong Raya yang besar itu, bahkan ruko dimana warung berada saat ini masih merupakan sawah. Pembangunan berjalan cepat. Tsunami merubah segalanya,” katanya.
Pelebaran jalan dan pembangunan stadion terjadi pasca-tsunami 2004. Pada masa itu, hiruk pikuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh membawa dampak baik bagi usaha Bang Adi.
“Berjualan mi seperti bermain bola, harus ada kerjasama.Tak mungkin saya berjualan tanpa kerjasama,” kata Bang Adi.
Masa ini merupakan masa-masa emas dimana banyak uang yang masuk ke Aceh sehingga pembangunan berjalan cepat.Pada masa itu pula, lanjutnya, terjadi lompatan luar biasa karena konflik bersenjata juga berakhir.Masyarakat memiliki keleluasaan dalam memajukan pembangunan, sekaligus dapat menentukan arah perekonomiannya sendiri di Aceh.
“Pembangunan dan arah ekonomi, keduanya mesti berjalan seimbang.Tak ada arti keduanya bila tak melibatkan orang-orang kecil seperti saya,” katanya.
Di lain sisi, ketertarikan pengunjung menurut dugaan saya juga disebabkan lantaran Bang Adi masih mempertahankan cara masak dengan menggunakan arang. Tiga kuali besar dengan tungku memanjang berada tepat di depan kedai. Saya memerhatikan beberapa kali dia mengingatkan Zulkarnaen, adiknya untuk memasukkan arang ke dalam tungku.
Baca Juga: Benarkah Tsunami Aceh Telah Diramalkan Dalam Manuskrip Kuno?
Beberapa pelanggan datang memesan.Sebegian besar mereka adalah orang-orang yang mencari santap siang. Di pojok dekat dengan etalase minuman, serombongan anak muda asik bercengkarama. Tak seperti kebanyakan warung di Banda Aceh, warung ini tak dilengkapi dengan sinyal WiFi, membuatnya menjadi tempat yang dikhususkan untuk menikmati selera asli. Hanya sebuah tivi 21 inchi tersangkut di dinding bekalang, itupun tak banyak pengunjung yang menonton.
“Berjualan mi seperti bermain bola, harus ada kerjasama.Tak mungkin saya berjualan tanpa kerjasama. Mi dan bahan-bahan lainnya di dapat dari mitra yang sejak zaman dulu memasok kebutuhan saya,” kata Bang Adi.
Dia memperoleh mi dari perusahaan pembuat mi yang berlokasi tak jauh dari tempatnya berjaualan. Sekitar 120 kilogram mi dihabiskan setiap hari.“Perusahaan pembuat mi paham betul kebutuhan kami.Jadi mereka turut menjaga kualitas mi.kami saling menjaga kepecayaan,” imbuhnya.
Kepercayaan bagi Bang Adi adalah hal terpenting dalam berbisnis. Demikina pula dia menjaga kepercayaan pelanggannya dengan tetap mempertahankan cita rasa yang asli.
Di etalase, saya melihat seonggok besar tomat. Berbeda dengan tomat yang pernah saya lihat selama ini. Tomat ini berbentuk bulat dengan lekukan persis bagian dalam isi buah manggis, didominasi warna hijau dan oranye.
Menurut bang Adi, dia mempertahankan penggunaan tomat jenis ini. Cita rasanya sedikit lebih asam. Sulit menemukan tomat jenis ini di pasar karena cepat membusuk dan tak laku. Dia mendapatkan tomat itu dari petani dekat dengan rumahnya di kawasan Aceh Besar, Kuta Baro. Para petani mengantarkan langsung tomat-tomat itu ke rumahnya.
Baca Juga: Laksamana Malahayati, Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman
Menarik, dia mengisahkan bagaimana sulitnya mendapatkan tomat jenis ini. Tak habis akal, sekitar tahun 2000-an, Bang Adi mulai membagi-bagikan benih tomat kepada petani. Benih itu berkembang hingga sekarang. Namun karena di pasaran harganya murah, tomat jenis ini hanya banyak digunakan untuk konsumsi sendiri.
“Saya berupaya agar tomat ini tidak punah. Kalau punah, selain usaha kami terancam, petani juga tak dapat lagi menikmati tomat murah yang rasanya unik,” imbuhnya.
Dalam hati saya menyetujui Bang Adi. Saya masih berkeyakinan, mi aceh akan terus bertahan dengan rasa aslinya selagi masih ada orang-orang yang mau berpikir. Mereka adalah orang-orang yang tidak merelakan cita rasa kulinernya diserahkan pada pabrik pembuat makanan kemasan.
Kisah ini pernah terbit di laman National Geographic Indonesia berjudul Mempertahankan Rasa Asli Mi Aceh pada Juli 2016.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR