Hari itu, Kasirin bersama paguyubannya membagi pentas ebeg dalam tiga ebek. Setelah babak pertama usai sebelum matahari di atas kepala, dilanjutkan dengan babak kedua. Para penari kembali memasuki ‘kalangan’ setelah lepas dhuhur. Mereka mementaskan tarian pedang. Ini tari kreasi baru.
Di akhir babak kedua, keriuhan ebeg memuncak. Inilah saat yang gaib bergabung dalam pentas. Para wayang kesurupan. Satu dua penari tersungkur; yang lain bertingkah seenaknya. Beberapa penonton di sudut lapangan turut wuruatau kesurupan. Saat inilah indang atau sobat gaib merasuki para penari dan beberapa penonton.
Kendati dibawah kendali indang, para wayang masih menari selaras irama gending. Seorang penari menari lebih bersemangat; ada yang menari lemah gemulai bagaikan seorang perempuan kenes; ada juga yang indang masih merasuk separo.
Baca Juga: Babad Dipanagara dan Sosok Pangeran Dipanagara Sebagai Manusia
Kasirin bersama penimbul disibukkan oleh seorang wayang yang terasuki separo. Sejurus kemudian, gending mendadak melantunkan tembang ilir-ilir. Serentak para penari yang kesurupan mengitari ‘jasad’ yang menegang dan belum sempurna terasuki itu. Mendekati usainya ilir-ilir, indang telah sempurna menyusup ke sang jasad: dia bangkit dengan tatapan nanar ke sekeliling. Dia lebih bertenaga, menari tanpa lelah.
Irama gending semakin menggelora. Penonton makin padat, memagari lapangan. Makin sore, pementasan ebeg itu kian memuncak. Para pengunjung masih bertahan di tepi pentas.
—Artikel ini pernah terbit dengan judul Derap Ebeg Banyumasan pada 30 Desember 2015.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR